PART 6 A
Waktu berjalan terasa melambat. Detik-perdetik yang terlewatkan membawa keresahan, kekhawatiran, kerinduan, semua bercampur menjadi satu. Dan satu hal yang paling kubenci, aku tidak tahu harus melakukan apa.
Sudah hampir berjalan dua bulan, belum juga kuketahui keberadaan suamiku, Bang Riswan. Segala doa kupanjatkan kepada Pemilik Segala, untuk meminta perlindungan dan keselamatan di manapun suamiku berada. Menangis di sepertiga malam, pagi dan petang, dalam doa dan sujudku. Semoga suamiku baik-baik saja di manapun dia berada.
Sebenarnya, selama tidak ada Bang Riswan, aku tidak ada kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam dua bulan ini saja, orang-orang kantor dari perkebunan sudah tiga kali datang membawa paket sembako dalam jumlah yang sama seperti saat pertama kali memberi. Juga dua kali dari orang kantor yang sama, memberikan uang tunai dalam amplop dengan jumlah yang cukup besar, yang aku sendiri belum pernah memegang uang dalam jumlah sebanyak itu.
Aku berusaha untuk menolak pemberian uang tersebut dan tidak mau menerima, tetapi orang-orang kantor yg dikirim itu memohon-mohon agar aku mau mengambilnya, takut mereka dipecat jika aku menolaknya.
Setiap kali kutanyakan, siapa yang menyuruh mereka untuk memberikan semua ini kepadaku dan kedua anakku, mereka selalu bilang tidak tahu. Hanya menjalankan perintah, itu saja jawabannya.
Amplop-amplop besar berisi duit yang mereka berikan, sebagian besar kutabung di bank desa, dan sisanya kubelikan pakaian, sepatu, untuk putri-putriku. Sabun dan skin care perawatan tubuh dan wajah, juga gamis buatku.Tidak lupa kubelikan juga buat Emak.
Aku pun membeli televisi dan kipas angin untuk hiburan kedua anakku, dan lumayan membantu untuk mengalihkan kerinduan mereka kepada ayahnya. Sedangkan untuk membeli kulkas terasa sayang, karena cuaca di desa ini selalu dingin.
Jujur saja, aku memang bahagia dengan apa yang sudah kudapatkan, tetapi aku juga merasa sedih, suamiku Bang Riswan tidak ikut menikmatinya. Tidur di mana dia, sudah makan atau belum, terkadang nasi dengan lauk tidak bisa tertelan jika membayangkan nasib suamiku sekarang di tempat yang aku tidak tahu di mana.
'Kamu di mana sih, Bang, jahat sekali Abang tidak berkirim kabar kepada kami' keluh batinku.
Ical, keponakanku, sengaja datang ke rumah memberi tahu jika aku dipanggil oleh Bapak dan Emak. Lantas meminta keponakanku itu menemani putriku Yuli dan Neti menonton televisi, selagi aku menemui Bapak.
Kampung ini sudah mulai heboh, setelah bangunan di atas bukit itu selesai. Ternyata untuk membangun sebuah rumah mewah di sana. Jadi, setiap sore warga di kampung ini mempunyai hiburan tersendiri dengan menikmati keindahan rumah megah di atas bukit.
Sebagian pekerja bercerita bahwa ada ratusan tenaga kerja untuk menyelesaikan bangunan tersebut agar cepat selesai. Sepertinya, pemilik rumah mewah di atas bukit itu seorang yang amat kaya raya, hingga bangunan megah itu bisa selesai sesuai rencana.
Para pekerja sebagian besar sudah meninggalkan desa ini, dan sudah dari tiga hari kemarin giliran mobil-mobil pengangkut furniture dan barang-barang elektronik yang hilir mudik ke rumah mewah bercat putih tersebut.
Sesampainya di rumah induk, bukan hanya Bapak ternyata yang sudah ada di sana, tetapi juga Kang Amran, Ela, Samsiah, dan Emak. Duduk bersama mereka di karpet lantai. Bapak lalu memulai pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan.
"Risma, bapak baru tahu dari saudara-saudaramu, jika Riswan sudah tidak pulang-pulang ke rumah hampir dua bulan ini. Benar begitu?" tanya Bapak, terdengar keras.
Aku terdiam sesaat, sepertinya memang sudah tidak mungkin lagi untuk menutup-nutupi.
"Benar, Pak," jawabku, semua mata menatapku tajam. Aku diposisikan sebagai terdakwa, hanya Emak yang melihatku dengan tatapan sedih.
"Berarti, si Riswan itu memang laki-laki yang tidak bener, dan tidak bertanggung jawab," ujar Bapak ketus. Aku hanya terdiam.
"Lalu, setelah si Riswan pergi, kamu ada main dengan orang kantor dari perkebunan? Bagus jika begitu, nanti biar bapak yang urus surat-surat cerai buatmu," ujarnya, enteng saja dalam menilai sebuah persoalan, padahal tidak mengetahui masalah yang sebenarnya.
"Astagfirullah, tidak benar itu, Pak. Risma tidak ada hubungan dengan siapapun. Risma masih sah sebagai istri Bang Riswan," bantahku, terhadap tuduhan Bapak.
"Alahh ... jika tidak ada main dengan orang kantor, mana mungkin mereka selalu mengirimi sembako yang begitu banyak buatmu? Kami bertiga saja, akang, suami Ela dan Samsiah yang keluar masuk pabrik tersebut selama berpuluh-puluh tahun, tidak pernah diperlakukan seperti itu," tuduh Kang Amran seenaknya.
"Ya, mana Risma tahu, Kang? Mereka hanya bilang jika sembako-sembako itu semua buat Risma. Soal alasannya kenapa, Akang saja yang bertanya langsung dengan mereka jika masih tidak percaya," jelasku, menyanggah tuduhannya.
"Dan satu lagi. Risma tidak akan pernah menuntut cerai Bang Riswan," ucapku tegas.
Wajah Bapak terlihat mengeras, matanya memancarkan kemarahan.
"Dasar anak tol*l! Orang tua seperti ini karena sayang sama kamu? Gak kepingin melihat kamu miskin terus!" sentak Bapak.
"Memang nih Teh Risma, lelaki nggak ada masa depan begitu masih diharap-harap," sindir Samsiah, sembari tersenyum sinis kepadaku.
"Kamu tidak usah ikut campur dengan urusan teteh!" bentakku kepada Samsiah.
"Teh Risma. Wajarlah jika saudara ikut campur, karena kasihan melihat teteh hidup susah terus," sindir Ela. Juga dengan tatapan mata yang sinis.
"Kamu tidak usah sok-sok'an peduli atau pun kasihan dengan kehidupan teteh. Urus saja hidupmu sendiri?" celetukku pada Ela.
"Kamu itu ya, Risma. Tidak tahu diri? Saudara-saudaramu pada peduli, perhatian, malah dianggap ikut campur," sergah Kang Amran, kulihat Emak hanya diam saja sembari memandangiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )
RomanceKarya : Pena Asmara ( Gudang Cerita Online ) Seorang perempuan desa bernama Risma, selalu menjadi bahan hinaan dan hujatan dari keluarga besarnya karena kehidupan rumah tangganya yang dianggap miskin, tidak terkecuali dengan Riswan suaminya. Mereka...