13b

3.6K 237 14
                                    

Pagi-pagi sekali, di saat hawa dingin masih menyergap. Kabut dan embun masih menyelimuti perkebunan teh, aku sudah berada di desa Cibungah. Desa yang dikelilingi perbukitan, gunung, dan perkebunan teh.

Udaranya sejuk, airnya pun jernih langsung dari mata air pegunungan. Jalan desanya beraspal hitam. Terlihat para pekerja pemetik pucuk teh yang sebagian besar wanita berjalan berombongan, bertopi caping lebar dan membawa keranjang besar di belakang tubuhnya.

Matahari belum menampakkan cahayanya, motor bekas pemberian Julius sudah mulai memasuki batas desa, yang hanya berupa patok batu tanpa nama.

Kobong tempatku ingin belajar mengaji, lokasi pertama yang kucari. Akan tetapi karena aku tidak tahu tempatnya, aku hanya terdiam di sisi jalan. Letak rumah-rumah yang seperti bertingkat-tingkat karena kontur tanahnya yang menanjak, membuat aku kesulitan untuk mencari lokasi persisnya. Nama ustaz yang mengajarnya pun aku tidak tahu.
Sementara cuaca masih terlihat redup, hawa dinginnya begitu sangat menusuk.

"Assalamualaikum." Suara salam terdengar tepat di belakangku, menoleh cepat ke arah asal suara tersebut. Seorang gadis berkulit putih bersih, dengan hijab polos berwarna coklat pudar sudah berdiri tepat di belakangku. Sembari memeluk buku besar bertuliskan huruf Arab.

"Wa-waalaikum salam," jawab salamku, sedikit gugup.

"Sedang mencari siapa, Bang? Dari tadi, saya perhatikan seperti orang kebingungan," tanya gadis itu, dan Sang Surya yang tadi bersembunyi mendadak hadir sinarnya. Hingga terlihat jelas wajah gadis itu dengan bias sinar mentari di belakang kepalanya, dan sejenak aku terpukau. Terdiam cukup lama.

"Bang?" tegur gadis berkulit putih itu mengagetkan.

"Ohh, itu, saya lagi nyari ...." Entah mengapa aku menjadi lupa, nama istilah dari pesantren sederhana. Kupaksakan untuk mengingat-ingat.

"Cari apa, Bang?" tanyanya lagi, dan aku benar-benar lupa.

"Saya lupa," jawabku jujur. Gadis itu terlihat mengernyitkan wajahnya, mungkin alasanku terdengar aneh olehnya.

"Duhh ... ko bisa lupa," ujar gadis itu sembari tertawa, dan semburat merah terlihat di wajahnya. Bibirnya merah alami, dan baris giginya terlihat rapih. Tertawanya pun terdengar merdu sekali.

'Lebih cantik dari Maharani' gumamku.

"Apa, Bang?" tanyanya lagi, mungkin suara gumamku sedikit terdengar di telinganya.

"Tidak, tidak apa-apa," jawabku cepat, aku dibuatnya menjadi serba salah. "Itu yang kamu pegang buku apa?" Paras wanita itu terlihat heran. Matanya memperhatikan aku.

"Abang bukan orang Islam?" tanyanya.
Setahuku keluargaku Islam. Kami ikut berlebaran, tetapi memang tidak ada nilai-nilai keagamaan dalam rumah besar kami.

Sedari TK hingga SMA, aku sekolah di yayasan Katholik yang terbilang ternama di Jakarta. Walaupun SMA, tetapi murid-muridnya hanya khusus lelaki semua. Di rumah besar kami pun penghuninya tidak ada yang ibadah, karena lingkungan perumahan elit tempat aku tinggal dikelilingi mayoritas etnis Tionghoa. Dan kakekku sepertinya penganut kepercayaan, begitupun Mamah. Kolom agama kupikir hanya supaya terisi saja.

"Sebentar," jawabku, sembari mengambil kartu pengenal, dan melihat kolom agama. Bukannya aku tidak tahu, hanya saja aku bingung, yang katanya salat dan puasa ramadhan pun tidak pernah.

"Di KTP aku Islam sih," jawabku, dan gadis itu wajahnya semakin terlihat heran.

"Buku yang kamu pegang itu apa?" tanyaku lagi, karena memang aku benar-benar tidak tahu.
Masih dengan sedikit heran, gadis itu tetap menjawab pertanyaanku.

"Ini kitab suci Al-quran, buat mengaji," jawab gadis yang belum kuketahui namanya itu, dan aku langsung teringat.

"Oh iya, saya baru ingat. Saya sedang mencari tempat untuk belajar mengaji. Apa itu namanya?" tanyaku.

"Kobong."

"Iya, itu, Kobong," ujarku, membenarkan ucapannya.

"Beneran, sedang mencari Kobong dan ingin belajar mengaji?" Aku hanya mengangguk membenarkan.

"Jika begitu bareng saja, saya pun ingin pergi mengaji pagi di Kobong," jelasnya.

"Jauh tidak?" tanyaku.

"Itu, pondok bambu itu kobongnya," jawabnya, sembari menunjuk ke arah rumah pondok berbentuk panggung, berada di sisi bukit, lebih di atas rumah-rumah yang lain.

"Motorku bagaimana?"

Tinggal saja, insya Allah di desa ini aman," jawab gadis itu yakin, sembari melangkah, dan aku pun mengikuti berjalan di sampingnya.

"Oh iya, itu nama pengajarnya siapa?" tanyaku.

"Ustaz, nya?"

"Iya, ustaz-nya."

"Ustaz yang mengajar namanya Ustaz Arief, sedangkan saya mengaji sama istrinya," jelasnya lagi.

"Oh, iya, sampai lupa. Nama kamu siapa?" tanyaku, sembari menyodorkan tangan.

Gadis itu menoleh ke arahku yang berjalan sejajar di sisinya. Matanya yang bulat menatapku dengan kilau binar terlihat memancar, jantungku berdebar lebih cepat.

"Terserah Abang mau panggil saya apa," jawabnya, tanpa menyambut uluran tanganku. Dibiarkannya tanganku menggantung di udara, dengan malu hati, kutarik tanganku kembali.

"Rumah kamu tidak jauh dari sini?" tanyaku lagi. Tetapi pertanyaanku sepertinya diabaikan olehnya.

"Kobong buat lelaki yang itu, sedangkan buat perempuan yang itu," ucap gadis berhijab itu sembari menunjuk rumah panggung itu satu persatu, yang terpisah oleh bangunan rumah di tengahnya.

"Yang tengah itu rumah ustaz-nya, Ustaz Arief. Abang langsung saja ke sana," ujar gadis itu, yang sampai sekarang belum kuketahui namanya.

"Tidak keberatan, 'kan, jika saya meminta tolong kamu untuk mengantar saya ke rumah Ustaz Arief," pintaku kepadanya. Kami berhenti sesaat, Sekitar 10 meter dari tiga bangunan tadi. Mata gadis itu kembali menatap sedikit tajam ke arahku.

"Macam anak kecil saja minta diantar," sindirnya cepat, lalu melangkah ke sisi kanan tempat Kobong perempuan mengaji, tanpa menoleh lagi.

Dari cara menjawabnya terdengar ketus sekali, dan aku jadi tertawa sendiri. Karena biasanya, orang yang sedikit takut bila ingin bertemu dan berbicara denganku, sekarang justru malah aku yang minta ditemani.

'Aku dianggap anak kecil' Hatiku tertawa geli sendiri mengingat ucapan gadis desa tersebut, lalu mulai mendekati bangunan di tengah-tengah kobong, untuk menemui Ustaz Arief.

Demi agar bisa mendoa 'kan Mamah, aku ingin belajar mengaji.

Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang