Part 10A
POV RISWAN
"Titip anak-anak, Bang. Aku harus segera membantu, Emak," ucap istriku, Risma, yang biasa kupanggil dengan sebutan, Eneng. Sembari mengusap air matanya lalu berbalik meninggalkan aku yang masih berdiri terdiam.
Kesedihan terlihat jelas dari tatap matanya, hanya karena membela aku, suami miskinnya.Apakah salah aku memilih diam? Apakah juga salah jika aku terus mengalah? Apakah itu berarti menandakan jika aku sudah tidak lagi memiliki harga diri.
"Jika semuanya habis mereka injak-injak, apalagi yang harus eneng banggakan sama suami sendiri, Bang."
Menemani kedua putriku Yuli dan Neti memetik cabai dan tomat di depan pekarangan rumah, ucapan istriku selalu terngiang-ngiang.
Istriku memang tidak pernah mengeluh tentang kemiskinan kami, hampir selama enam tahun kami membina rumah tangga."Tidak apa-apa, eneng dibilang miskin. Tetapi jangan sampai Abang dianggap tidak punya harga diri."
Menemani kedua anakku yang kembali tertidur di karpet ruang tamu, di dalam kamar yang hanya seluas 3X4 meter, ruangan kosong melompong. Tanpa ada satu pun alat-alat elektronik, bahkan kipas angin sekalipun.
Yuli dan Neti mungkin lelah, setelah bermain dan berlari-larian di kebun depan rumah, dan ucapan eneng bagaikan alarm, selalu membuatku teringat. Terbayang wajahnya yang menyimpan dan memendam kepedihan, karena selalu disindir dan dihinakan oleh keluarganya. Bertahan bersamaku yang hidup dengan serba kekurangan.
"Apakah Abang ikhlas, bila kita bercerai dan anak-anak jauh dari, Abang?"
Air mataku mengembang, memandangi kedua putriku yang sedang lelap tertidur. Aku seperti ayah yang tega melihat kesusahan yang dijalani mereka. Akan tetapi, keluarga kecilku harus merasakan terlebih dahulu susah dan sulitnya kehidupan, agar rasa empati kepada sesama sudah tertanam dalam lubuk hati mereka.
Jadi selama ini, keluarga istriku terutama Bapak dan tiga orang saudaranya yang lain terus memaksanya untuk bercerai denganku.
Naif-nya aku, tadinya kupikir tidak akan sampai sejauh itu. Mengambil sikap diam, mengalah dan selalu menuruti kemauan mereka rasanya itu sudah cukup untuk mereka bisa menerima keberadaanku, dan ternyata aku salah besar.Sepertinya batas kesabaran istriku sudah habis. Mati-matian dia membela harga diriku di hadapan keluarganya, dan aku tetap bertahan dengan prinsip sabar dan mengalah, ternyata itu memang tidak cukup untuk membuat mereka berubah menjadi baik.
Memisahkan aku dengan Eneng dan kedua anakku, sama saja dengan membunuh diriku secara perlahan tetapi pasti. Merekalah sekarang duniaku, dan selain Tuhan, tidak ada yang bisa memisahkan aku dengan keluarga kecilku.
Menutup pintu depan, aku segera menuju ke pintu belakang dekat dapur. Sembari membawa pacul, lantas mulai menggali tanah yang ada di sisi luar dapur, dan sudah kutandai dengan sebatang kayu jambu sejak enam tahun yang lalu. Saat pertama kali aku membeli rumah sederhana ini dengan sedikit lahan di depan dan belakang rumah.
Mengambil kotak penyimpanan yang kubungkus dengan plastik yang sudah berlumuran tanah lembab. Membuka kotaknya dan mengambil isi di dalamnya, lalu mulai menguruk tanah itu kembali.
Kedua anak-anakku semua sudah terbangun dari tidur siangnya, saat Ical anak Kang Amran memintaku untuk datang ke rumah Emak.
"Ada apa, Cal?"
"Dipanggil Uwak, Mang?"
"Bapak kamu, Cal?"
"Bukan, Mang, itu Uwa Darman sudah datang. Mamang diminta untuk segera ke sana secepatnya," jelasnya lagi.
"Iya, Cal, ini mamang sama anak-anak akan langsung berangkat." Ical berbalik badan, sedikit berlari sepertinya ingin kembali ke rumah besar. Mengunci pintu rumah, lalu bersama kedua anakku menuju ke rumah induk keluarga besar istriku.
Benar saja, kedatanganku ke sana hanya untuk dibuat malu dan dihinakan. Keluarga besar istriku menyindir dan merendahkan keberadaanku, hanya Emak dan keluarga Kang Darman si anak tertua yang baik terhadap keluargaku.
Kembali kulihat guratan luka pada wajah istriku, wanita desa yang setia membersamaiku selama enam tahun. Yang sama sekali tidak pernah mengeluh tentang kemiskinanku, dan tidak sedikit pun mengurangi rasa cintanya terhadapku.
'Secepatnya akan kuakhiri penderitaanmu, Neng' janji hatiku.
Aku tahu, hati istriku pasti sangat sakit, dan itu karena membelaku, suaminya. Hatiku geram melihat sikap keluarganya.
"Persiapkan dirimu, untuk bersikap tega nanti." Kubisikan pelan di telinganya. Sepenuhnya dia belum mengerti maksud dari perkataanku, tetapi dia sepertinya bisa melihat kegeraman dalam mimik wajahku.
Sakitnya Papah baru kudengar, saat Linda dan Yeni, kedua anak Kang Darman bercerita dari berita online yang dibacanya, dan itu sangat mengejutkan. Laki-laki yang kupanggil Papah itu pernah menggoreskan luka dalam di hatiku, tetapi beliau tetap orang tuaku. Sebenci apapun aku terhadapnya.
Segera aku meminta ijin kepada istriku untuk kembali "pulang" dengan menitipkan kedua anakku terlebih dahulu kepadanya. Pulang, bukan pulang ke rumah sederhana kami, tetapi pulang ke masa laluku.
Meminta ijin kepada Emak, Kang Darman, dan keluarganya. Tetapi kuhiraukan yang lainnya. Karena mereka sudah terlebih dahulu memicu pertikaian, dan aku hanya akan melanjutkan sampai nanti siapa yang akan melambaikan tangan.
Masih kudengar makian dari Bapak mertuaku saat aku meninggalkan rumah besar. Tidak kuhiraukan makiannya. Kini saatnya aku harus memperbaiki masa laluku terlebih dahulu dan menjenguk Papah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )
RomanceKarya : Pena Asmara ( Gudang Cerita Online ) Seorang perempuan desa bernama Risma, selalu menjadi bahan hinaan dan hujatan dari keluarga besarnya karena kehidupan rumah tangganya yang dianggap miskin, tidak terkecuali dengan Riswan suaminya. Mereka...