14a

3.4K 223 8
                                    

Ustaz Arief, pria paruh baya pimpinan pesantren kobong yang santrinya tidak terlalu banyak. Hanya ada sekitar 15 santri lelaki yang tinggal di situ, sementara santriwati wanita hanya untuk tempat mengaji saja, tanpa menyediakan pemondokan yang sebagian besar anak-anak usia belasan tahun. Sedangkan sisanya sekitar lima orang seperti aku, hanya datang di saat-saat selepas salat lima waktu.

Sebenarnya ada rasa malu, melihat dari usiaku yang terbilang paling dewasa dibandingkan santri-santri yang lain. Akan tetapi karena keinginan untuk bisa mengirimkan doa buat Mamah, sekaligus ingin mengenal tentang agama maka kutepis semua rasa malu tersebut. Ustaz Arief pun bilang, "Selama kita masih bernafas, berapa pun usia kita, selama itu pula kita harus terus belajar dalam segala hal" Dan itu semakin membuatku bersemangat untuk terus mendalami agama.

3 minggu sudah aku belajar mengaji di Ustaz Arief, dan benar-benar memulainya dari nol. Dari awal Iqra, doa-doa, bacaan salat, tata cara salat, berwudhu. Aku benar-benar seperti anak usia dini yang baru dikenalkan tentang keyakinannya. Namun, aku justru merasakan ketenangan dan kedamaian di tempat ini, selain juga karena daerahnya yang beriklim sejuk.

Risma Wulandari, nama gadis itu. Yang kutahu dari Ustaz Arief. Gadis berhijab yang telah membantuku menunjukkan Kobong pesantren milik Ustaz Arief. Setiap hari aku selalu melihatnya belajar mengaji di sini, tetapi tidak pernah ada lagi percakapan di antara kami berdua. Bersikap layaknya orang asing, hanya sekedar bersitatap dari kejauhan, atau saling mencuri pandang, tetapi entahlah, semakin berjalannya hari semakin aku ingin selalu melihatnya walaupun hanya dari kejauhan.

Letak lokasi Kobong yang agak dipedalaman, membuatku harus bolak-balik dari motel tempatku menginap ke tempat Ustaz Arief, dan lama-lama jadi terasa melelahkan. Aku berencana ingin mencari rumah tinggal yang tidak jauh dari Kobong, dengan cara ingin menjual mobil yang selama tiga minggu terakhir ini hanya terparkir saja di halaman parkir motel. Dan rencana untuk mencari tempat tinggal di desa ini pun aku diskusikan dengan beliau, saat kami sedang berbincang selepas mengaji pagi hari ini. Selain itu juga ada hal lain yang lebih serius yang ingin kutanyakan kepada beliau nanti.

"Ustaz, mungkin ustaz tahu, di desa ini warga yang ingin menjual tanah atau rumah?" tanyaku pada beliau, yang sedikit kaget sesaat aku menanyakan sesuatu di luar topik pembicaraan kami yang sedang membahas tentang tata cara salat lima waktu.

"Beneran memang ada yang ingin mencari rumah, buat siapa, Wan?"

"Buat saya ustaz, berasa lelah juga jika harus bolak-balik berkali-kali," jawabku.

"Kebetulan jika begitu, Wan. Saya ada rumah dan tanah warisan orang tua, yang memang ingin saya jual buat memperbaiki dan menambah kobong. Kasihan jika melihat santri tidur berdesak-desakan," jelas Ustaz Arief.

"Rumahnya yang mana, Ustaz?"

"Ituloh Wan, rumah kosong yang di depan perbatasan perkebunan. Memang sih, kondisi rumahnya perlu sedikit perbaikan."

"Luas tanah berapa, Ustaz?"

"50 meter persegi," jawab Ustaz Arief.

"Ustaz mau jual berapa?"

"25 juta aja, Wan."

"25 juta, Taz?" tanyaku sedikit heran dengan harga semurah itu, menurutku.

"Kemahalan yah, Wan? Duitnya buat biaya kobong Wan. Memang sih harga tanah di desa ini masih tergolong murah, karena sedikit pedalaman dan jauh dari mana-mana," jelasnya. "Tetapi memang sudah saya niatkan, jika tanah itu terjual ingin menambah Kobong sekaligus merenovasi musholla."

"Insya Allah, nanti saya bayar 40 juta," kataku, terlihat kaget paras wajah Ustaz Arief.

"Ini beneran, Wan?" tanyanya, seperti ragu-ragu.
Aku mengangguk.

"Yang 15 juta, hitung-hitung saya ingin bersedekah buat ikut membantu pembangunan kobong, juga untuk disedekahkan atas nama almarhumah Mamah," ucapku lirih, ada rasa nyeri di hati jika menyebut ataupun mengingat almarhumah.

"Subhanallah," ucap Ustaz Arief. "Nanti soal surat-surat jual belinya biar saya yang urus, dan kita akan adakan tahlilan untuk mendoakan secara khusus buat almarhumah," lanjutnya lagi.

"Terima kasih, Ustaz," jawabku, sembari mengambil teh hangat yang sudah disediakan istri Ustaz Arief.

"Ngomong-ngomong, uang kamu banyak juga, Wan?" tanya Ustaz Arief, berseloroh.

"Ngumpulin sedikit-sedikit, Ustaz, saat kerja di luar kemaren," jawabku, menyembunyikan jati diri.

"Taz, saya mau tanya lagi?"

"Boleh Wan, tanya apa,?"

"Tapi ustaz jangan mem-bully saya, ya," ujarku bercanda. Ustaz Arief tertawa, terasa enak berdiskusi dengan beliau. Jika dulu aku hanya membicarakan tentang bisnis dan keuntungan, dengan beliau aku banyak mendapatkan pencerahan tentang keyakinan.

"Mau tanya apa, Wan? Serius nih sepertinya," jawabnya dengan nada menggoda. Aku terdiam sejenak, sedikit ragu-ragu sebenarnya untuk bicara tentang hal yang beberapa hari terakhir ini mengganggu pikiranku, tetapi akhirnya kuputuskan untuk kuungkapkan saja.

"Jika untuk melamar gadis di desa ini biasanya berapa ya, Taz?" tanyaku pelan, sedikit malu-malu.

"Waduh, pertanyaan kamu selalu mengejutkan ini," jawabnya dengan bercanda, lalu tertawa dengan nada sedikit kencang.

"Di sini sih, daerah pedalaman. Melamar gadis masih murah, Wan. Dibawain uang 10 juta pun sudah senang," jelas Ustaz Arief.

"Jika Risma bagaimana, Ustaz?" tanyaku pelan. Wajahku terasa panas, karena malu dan sedikit salah tingkah.

"Kamu serius ingin sama Risma?" Aku terdiam sesaat, lalu mengangguk membenarkan.

"Alasannya?" tanyanya lagi.

"Tidak tahu, Ustaz," jawabku

"Kok bisa nggak tahu?" tanyanya, menyelidik.

"Entahlah Ustaz. Seperti ada keyakinan dalam hati saya, jika jodoh saya adalah gadis itu."

Ustaz Arief mengambil nafas dalam, dan itu cukup mengherankan, seolah-olah ada yang berbeda dengan gadis yang bernama Risma tersebut.

"Kenapa, Ustaz?" tanyaku, merasa penasaran dengan perilaku Ustaz Arief.

"Sudah banyak Wan, pemuda yang ingin melamarnya, tetapi sepertinya prilaku orang tuanya, terutama bapaknya terkesan memberatkan pihak-pihak yang hendak melamar," jelas Ustaz Arief.

"Memberatkan seperti apa, Ustaz?"

"Tidak enak rasanya jika berbicara yang berhubungan dengan keburukan orang. Tanpa kita sadari malah membuat kita jadi asyik bergibah. Biar lebih jelasnya kita tanyakan saja langsung."

"Maksudnya, Ustaz?" hatiku mulai merasa tidak enak, dan ternyata benar saja.

"Mii, Umi!" panggil Ustaz Arief kepada istrinya, yang langsung bergegas mendatanginya.

"Ada apa, Bi," jawab istri Ustaz Arief yang biasa di panggil santri-santrinya, Umi Hasanah.

"Risma ada di Kobong putri?"

"Ada, Bi, baru saja datang," jawab Umi Hasanah.

"Panggil kemari, Mi. Abi ingin bicara." Umi Hasanah lantas kembali ke dalam, sepertinya akan memanggil Risma lewat pintu belakang.

"Ustaz, kok malah dipanggil," ucapku pelan, membuatku merasa semakin grogi dan serba salah. Si ustaz tersenyum.

"Setiap niat baik, harus disegerakan, Wan," jawabnya, dan aku terdiam. Keringat dingin mulai menjalar ke seluruh badan, tubuhku terasa gemetaran, dan ini aneh menurutku.

Tidak beberapa lama, Umi Hasanah datang dengan Risma, yang terlihat kaget melihatku ada di dalam ruangan bersama ustaz Arief, dan kekagetan itu benar-benar terlihat dari wajahnya.

Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang