6b

4.1K 251 7
                                    

Part 6B

"Jika begitu, berhentilah untuk perduli!" sentakku tidak kalah keras. Bapak beringsut dari duduknya untuk mendekatiku, dan dengan cepat.

"Plak ....!!"

Tangannya cepat menamparku, panas pipi ini terasa terkena tamparannya.

"Pak!" Emak mendekat, berusaha untuk mencegah.

"Diam di tempatmu, Sawiyah!" bentak Bapak keras, sambil menunjuk ke arah Emak, dan Emak pun mengurungkan niatnya untuk mendekatiku. Mata Emak terlihat sudah berkaca-kaca.

"Semakin lama, mulutmu semakin lancang!" bentak Bapak lagi, aku masih memegangi pipiku yang masih terasa nyeri akibat tamparan tadi.

"Risma mau tanya, Pak. Di mana letak lancangnya?" ucapku sembari terisak.

"Risma hanya minta agar keluarga tidak usah ikut campur dengan urusan rumah tangga Risma. Risma yang jalani, Risma juga yang rasakan. Apa kalian mau rumah tangga kalian juga diikut campuri, padahal kalian sendiri merasa semuanya baik-baik saja?" jelasku, masih terisak. Sakit rasanya, bukan karena tamparan, tapi karena mereka hanya pura-pura perduli.

"Ya, sudah, jika memang kamu sudah tidak mau lagi diperdulikan. Jangan pernah lagi datang ke rumah ini!" sentak Bapak, mulai berdiri tepat di depanku. Emak sudah terlihat menangis. Sementara saudara-saudaraku yang lain, tetap menatap sinis.

Aku pun segera berdiri, tepat di hadapan Bapak. Pria arogan yang kupanggil Bapak ini benar-benar sangat mengecewakan. Egois, merasa dirinya paling benar dan paling mengerti perasaanku.

"Baik, Pak, jika itu memang mau, Bapak," jawabku, menerima tantangannya.

"Dan semenjak hari ini, kamu sudah bukan lagi putriku. Mereka pun sudah bukan saudara-saudaramu," ancam Bapak, sembari menatap tajam.

Ya, Allah ... sakit rasanya. Hanya karena aku tidak mau mengikuti kemauannya, seenaknya saja dia mengusir dan tidak mengakuiku sebagai bagian dari keluarga besar.

"Baik, Pak, silahkan saja. Risma tetap tidak mau berpisah dengan Bang Riswan," ucapku lagi, tegas. Menghampiri dan mencium tangan Emak yang masih menangis terdiam. Meminta maaf kepada beliau, lalu mulai melangkah meninggalkan rumah.

"Ingat, yah, Risma. Suatu saat kamu akan menyesal, karena tidak mau mendengar ucapan bapak!" pekiknya, nada suaranya masih berapi-api.

Aku berhenti tepat di depan pintu keluar rumah, berbalik badan menatap ke arah Bapak. Hatiku masih terasa sakit, nafasku sesak, pipi ini sudah basah dengan air mata.

"Anda sendiri yang bilang, jika saya sudah tidak punya Bapak." Bergegas pergi meninggalkan rumah besar ini, tanpa menoleh lagi.

"Dasar anak durhaka! Tidak tahu balas budi!"

÷÷÷

Selepas Djuhur, dua hari setelah peristiwa di rumah Bapak. Dua putriku, Yuli dan Neti, sudah berpakaian rapih dan wangi. Dengan menggunakan baju yang baru kubeli dari uang pemberian orang kantor.

Jam dua nanti, aku dan anak-anakku diundang oleh pabrik pengolahan teh yang memberikan kami sumbangan untuk menghadiri acara yang aku sendiri tidak tahu tujuan acara itu untuk apa.

Semua warga kampungku yang jumlahnya tidak terlalu banyak pun semua mendapatkan undangan. Emak, Bapak, dan saudaraku yang lain, kudengar juga sudah mendapatkan undangan.

Menurut sebagian warga, pabrik teh ini sudah bersiap-siap seperti akan mendapatkan kunjungan tamu yang super penting. Terlihat dari tembok muka pabrik yang semuanya sudah di-cat baru, dengan banyak karangan bunga besar untuk penyambutan tamu istimewa, Itu kata tetanggaku. Dan sebagian lagi ada yang bilang, jika pemilik pabrik teh terbesar di propinsi ini yang akan datang.

Pengganti Muchtar Kusumateja.

Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang