PART 4 A
Sudah menjadi kebiasaan, jika Kang Darman pulang kampung di luar waktu Lebaran Idul Fitri. kakakku itu dan keluarganya akan menginap semalam di rumah keluarga besar ini. Karena yang mengisi rumah ini hanya Bapak dan Emak sehari-harinya.
Rumah bersama ini memang berukuran cukup luas. Banyak ruang kosong, karena tidak terlalu banyak perabotan. Kursi ruang tamu pun tidak ada, semua hanya beralaskan karpet. Jika ada tamu pun mereka semua duduk-duduk dibawah.
Seharian tadi keluarga Kang Darman hanya menghabiskan waktu dengan kami semua keluarga adik-adiknya. Memetik kelapa, atau mengambil buah-buahan langsung dari pohonnya, karena memang desa ini masih terlihat sangat alami dan segar udaranya.
Semenjak ijin pulang ke rumah tadi. Suamiku, Bang Riswan, tidak nampak lagi terlihat kembali ke rumah Bapak. Mungkin Bang Riswan memutuskan untuk menunggu di rumah saja.
Dua putriku baru saja tertidur, sehabis kukeloni tadi. Sementara aku terduduk sendiri di depan teras rumah. Ditemani suara jangkrik dan kelap-kelip cahaya kunang-kunang. Cuaca malam ini dingin menusuk, melebihi malam-malam biasanya.
Suamiku sedang apa? Sudah makan atau belum? Sedangkan sedari Subuh aku sudah sibuk di rumah Emak, tidak sempat masak di rumah. Saat siang tadi pun Bang Riswan tidak mau makan di sini' Hatiku gelisah.
"Sedang apa, Ris, Kok belum tidur?" Sedikit terkejut, karena tiba-tiba Kang Darman sudah ada di sebelahku.
"Belum ngantuk, Kang?" jawabku, kembali mengalihkan pandangan ke arah kegelapan pepohonan.
"Perlakuan mereka terhadapmu ternyata belum juga berubah yah, Ris?" Aku tersenyum, menoleh ke arah kakak pertamaku yang duduk di sampingku.
"Begitulah, Kang. Sepertinya, jika aku masih bersama Bang Riswan, perlakuan mereka tetap akan selalu begitu."
"Kamu bahagia, Ris?" tanya Kang Darman. Aku terdiam sesaat, diiringi hening dan suara nyanyian jangkrik.
"Ukuran kebahagiaan itu apa, Kang? Harta kah?"
"Menurutmu?"
"Entahlah, Kang. Jika harta sebagai ukuran sebuah kebahagiaan, maka aku tidak bahagia, karena memang aku tidak punya."
"Lalu apa ukurannya, Ris?"
"Bang Riswan memang tidak kaya, Kang ... tetapi dia sayang dengan Risma dan anak-anak. Tidak pernah bersikap atau pun berkata kasar. Pengertian, juga sabar. Walaupun kesabarannya terkadang membuatku kesal," jelasku pada Kang Darman.
"Jika ukurannya bukan harta benda, maka aku bahagia, Kang."
"Kamu tidak ingin punya kehidupan yang lebih baik buat anak-anakmu, Ris?"
"Kehidupan yang lebih baik, Kang?" tanyaku memperjelas.
"Iya, kehidupan yang lebih baik. Misalnya dalam hal kemapanan. Pemenuhan kebutuhan, atau pun memilik banyak uang?"
"Jika kehidupan yang lebih baik, tujuannya karena banyak harta. Mungkin Qorun sudah diangkat menjadi Nabi, Kang?" Kang Darman tertawa mendengar guyonanku.
"Ris, yang kudengar, sekarang Bapak memaksamu untuk bercerai dengan Riswan, yah?" Aku tidak menjawab, hanya mengangguk pelan.
"Terus, kamunya sendiri bagaimana?"
"Aku harus meminta cerai, alasannya apa, Kang?"
"Karena dipaksa Bapak, misalnya."
"Yah tidak bisa, Kang. Seumpama orang tua memaksa, tetapi tidak ada unsur keburukan yang dilakukan suami. Risma tidak akan mau jika seperti itu. Selama suami Risma mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Sayang istri dan anak. Walaupun tidak kaya, sepertinya tidak pantas Kang, jika Risma meminta cerai hanya karena hidup susah." Mengembuskan nafas perlahan, mengurangi rasa sesak yang menggumpal.
"Bang Riswan sudah memenuhi semua syarat kewajiban seorang suami, Kang. Walaupun kecil dan sederhana, kami punya rumah. Untuk makan setiap hari walaupun seadanya, kami mampu. Dengan keluarga, Bang Riswan sayang. Lalu aku harus menuntut apa lagi, Kang? Jika kebutuhan dasar sudah dia penuhi."
"Kamu tidak ingin seperti orang-orang lain, Ris. Punya perhiasan. Perabotan mahal. Rumah bagus?" Aku tersenyum, sembari menatap wajah Abang kandungku yang nomor satu itu.
"Mungkin setiap orang kepingin seperti itu Kang. Tetapi jika seandainya suamiku hanya sanggup memenuhi kebutuhan utama sesuai standar tanggung jawab seorang suami. Yah, aku tidak bisa memaksa untuk meminta lebih." Kupegang tangan Kang Darman, saudara yang paling sayang kepadaku.
"Aku percaya. Suamiku pria yang bertanggung jawab, Kang. Dia akan penuhi setiap kebutuhan dasar kami, termasuk jika nanti anak-anakku besar dan butuh biaya yang lebih tinggi. Sekarang ini, dia hanya sanggup memenuhi kebutuhan sesuai standar hidup, dan itu sudah sesuai dengan tuntunan agama kita, Kang. Aku tidak mengeluh karena dianggap miskin, tetapi aku tidak terima jika orang miskin dianggap tidak punya harga diri." Tidak terasa air mataku mengembang dan luruh perlahan. Abangku merengkuh bahuku, mendekap erat ke dalam pelukannya, berucap pelan.
"Adikku ini memang perempuan baik yang tidak terlalu banyak menuntut."
Suara jangkrik masih terdengar ramai, dengan sesekali diiringi suara kodok mengiringi kunang-kunang menari, malam ini memang terasa hening dan cuaca dingin sekali.
"Oh, iya, Ris, ini buat kamu," ucap Kang Darman, sembari meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu dipangkuanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )
RomanceKarya : Pena Asmara ( Gudang Cerita Online ) Seorang perempuan desa bernama Risma, selalu menjadi bahan hinaan dan hujatan dari keluarga besarnya karena kehidupan rumah tangganya yang dianggap miskin, tidak terkecuali dengan Riswan suaminya. Mereka...