18b

3.1K 170 4
                                    

Perkataan Toni kembali menyadarkanku dari memikirkan keluarga. "Baik Pak, secepatnya akan saya konsolidasikan orang-orang bapak."

Mobil yang aku tumpangi mulai memasuki area rumah sakit, dan ini adalah pertama kali aku akan kembali bertemu Papah setelah enam tahun aku menghilang.

Sebagian kerabat Papah yang ikut menunggu di rumah sakit terkaget-kaget dengan kedatanganku yang sudah menghilang cukup lama. Dari Papah pun sama dengan mamahku, kedua orangtuanya sudah tiada, hanya ada tiga adik-adik papah. Om Alex, Tante Sartika, dan Om Bagas. Semuanya bergantung dengan perusahaan peninggalan kakekku dari pihak mamah. Yusuf Kusumateja.

Hanya ada Tante Sartika dan Om Bagas yang sedang menunggu papah. Dengan ditemani beberapa orang cucu mereka. tidak terlihat ada Om Alex di situ.

"Ya, Allah, Aris, kamu kemana saja?" Tante Sartika menghambur ke arahku, dan aku tau dia tulus, sayang, dan perduli padaku. Om Bagas pun menghampiri juga memelukku. Pelukan dan sambutannya terasa hambar, seperti dipaksakan.

Dia sama dengan Om Alex, berambisi ingin menguasai group Niskala, yang notabene adalah milik klan Kusumateja, dan aku adalah pewaris satu-satunya.

"Kamu kemana saja, Ris?" tanya Tante Sartika lagi, matanya sudah berkaca-kaca.

"Ada hal yang harus saya selesaikan dahulu Tante, bagaimana dengan kondisi Papah?"

"Masih kritis Ris," jawab Om Bagas.

"Kamu kenapa tidak kasih kabar, bikin Tante khawatir selama bertahun-tahun," ucap Tante Sartika, sembari menghapus air matanya dengan tissue.

"Maafkan Aries Tante, Aries hanya butuh waktu untuk menepi," jawabku.

"Aries mau lihat Papah, Tan?"

"Sebentar ya, Ris, di dalam masih ada dokter yang sedang memeriksa kondisi papahmu," jelasnya.

Tidak beberapa lama, dokter dan Suster yang memeriksa kondisi kesehatan papah keluar dari ruang VVIP tempat papah dirawat, dan kami semua langsung menghampiri.

"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanyaku.

"Mohon maaf, sampai saat ini beliau belum ada perubahan sama-sekali. Kami akan pantau terus 24 jam," jawabnya.

"Saya putranya, minta ijin masuk untuk melihat kondisinya."

"Boleh Pak, silakan. Nanti ke ruang sterilisasi dulu ya, pak, dan memakai pakaian yang sudah disiapkan pihak rumah-sakit. Masih di satu ruangan juga dengan Pak Muchtar di dalam, ada perawat yang menjaga di dalam," kata dokter pria paruh baya tersebut.

"Baik, Dok, terima kasih."

"Biar Tante temani ya, Ris?" pintanya.

"Baik Tante, sebaiknya kita langsung ke sana," jawabku, mulai mendekati ruang perawatan Papah, dengan diikuti oleh Tante Sartika.

Setelah melewati ruang sterilisasi dan memakai pakaian yang disediakan pihak rumah sakit, aku pun segera masuk ke ruangan tempat Papah di rawat.

Terdiam aku, tidak mampu lagi untuk mendekat. Air bening mengembang di kedua mata ini, dan langsung luruh perlahan.

'Benarkah ini papah' lirih suara bathinku.

Ya Allah, kondisinya sangat memprihatikan, dan aku sampai tidak mengenali. Sementara Tante Sartika sudah menangis terisak.

Papah yang dahulu bertubuh tinggi besar, kini hanya tinggal kulit berbalut tulang. Semua alat bantu yang dianggap mampu memperpanjang napasnya terpasang di tubuhnya. Dan baru kali ini aku merasa menyesal, kenapa baru bisa menemuinya dalam kondisi menyedihkan seperti ini.

Perlahan, aku mulai mendekati sisi ranjang tidurnya. Suara alat pendeteksi detak jantung satu-satunya yang terdengar di ruangan ini. Nafasnya sudah tersengal-sengal, terlihat tua sekali.

'kenapa bisa jadi seperti ini, Pah' lirihku dalam hati.

Kusentuh pelan jemarinya, dingin, tidak merespons sama sekali. Kembali kutatap lekat wajah tulang berbalut kulit tersebut, dan air mataku jatuh.

"Pah ... Riswan pulang, Pah," bisikku pelan dekat telinganya. Tante Sartika terisak-isak, baru kali ini dia melihat langsung keadaan kakak tertuanya itu.

"Mas, ini anak Mas sudah pulang."

Suara Tante Sartika terdengar parau, lalu menutup mulutnya dengan telapak tangannya.

"Riswan minta maaf, Pah." Sembari terus kugengam jemari tangannya, dan papah mulai merespons. Jari-jari tangannya terasa bergerak lamban.

"Pah..."

Bulir bening terlihat di sudut matanya.

"Bangun Pah, ini Riswan datang."

Suara mesin pendeteksi detak jantung mulai terdengar berirama.
Kuhapus lembut bulir air di sudut mata tuanya, dengan perasaan hati yang sangat bersalah.

"Riswan sudah memaafkan segala kesalahan dan kekhilafan Papah. Maafkan Riswan juga ya, Pah?" Ada sedikit tarikan pada ujung bibirnya, seperti ingin tersenyum, sudut matanya masih basah.

"Asshaduallah illahailallah waashaduanna Muhammaddarrasullallah."

Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang