5b

4.2K 245 12
                                    

Part 5B

"Ada minyak sayur nih, kebenaran di rumah sudah habis. Iyah minta ya, Mak," ucapnya, enteng saja.

"Aku minta gula pasirnya!" Ela, adiku satunya lagi tiba-tiba datang. Sepertinya Samsiah tadi yang mengirimkan pesan buatnya. Dia pun langsung mencari apa yang dia mau.

"Mie instannya minta juga ya, Mak, buat anak-anak," ujar Ela, sembari menarik lakban perekat kardus mie instan tersebut. Samsiah pun ikut sibuk mencoba mengambil beberapa bungkus mie.

"Hei! Dasar tidak punya malu! Bukannya ngasih orang tua, yang ada malah selalu ngambilin barang-barang milik Emak," sentakku kesal, ditambah emak pernah mengeluh, jika Ela dan Samsiah sering sekali mengambil ataupun meminta keperluan dapur sama emak.

"Teh Risma, jika mau ikut minta, ya, minta aja? Nggak usah juga ikut larang-larang," sindir Samsiah.

"Ini sembako pemberian dari Risma untuk emak," jelas emak.

"Hadehh ... mana mungkin, Mak. Punya uang dari mana, Teh Risma?" jawab Ela, merendahkan aku, dan itu sudah biasa dia lakukan.

"Semua sembako ini memang punyaku untuk Emak. Taruh lagi nggak!" sentakku lagi.

"Tapi, 'kan sudah dikasih buat Emak, jadi sudah milik Emak, dong?" elak Samsiah, tidak punya malu. Seandainya saja mereka mau baik dan tidak memusuhiku, pasti mereka pun akan kukasih sedikit sarang sedikit.

'persiapkan dirimu untuk berlaku tega nanti' Teringat kata-kata Bang Riswan yang dia bisikkan waktu itu.

"Iya, kalian tidak punya malu saja, mengaku-ngaku kaya, tetapi sering minta-minta sama orang tua.  Hanya pengemis yang suka minta-minta," sindirku pedas. Sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah.

Sudah sedari lama mereka berdua ingin memulai peperangan, selama ini aku hanya diam, dan masa-masa itu sudah harus berakhir sekarang.

"Teh Risma ngomong jangan sembarangan, ya," ucap Samsiah bernada mengancam. Ela pun melotot ke arahku.

"Jika aku sembarangan, kalian mau apa!" jawabku tegas, langsung berdiri dari bale. Aku tahu adik-adikku, mereka berdua itu penakut, tidak punya nyali, hanya berani jika ada Kang Amran dan bapak saja.

"Sudah Risma, jangan." Emak sedikit menarik bajuku. Dua adikku itu mulai terlihat mengkerut. Mereka sangat mengenalku. Kakak yang selalu membela mereka saat dulu selepas di-bully teman-temannya, atau kakak kelas mereka. Setiap kali Ela atau Samsiah mengadu sembari menangis, pasti saja orang yang membuat mereka bersedih dan ketakutan akan aku ajak berkelahi, bahkan pria sekalipun.

"Sudah ambil saja, Ela, Samsiah," ujar emak, dan dengan tidak ada malunya, mereka benar-benar mengambil apa yang sudah kuberikan untuk emak, sembari melangkah pulang tanpa pamit lagi, bahkan berterima kasih pun tidak.

"Jangan begitu, ah, Risma, dengan adik-adikmu," tegur emak.

"Tetapi mereka benar-benar sudah kelewatan, Mak," sanggahku dengan nada pelan.

"Walau bagaimanapun mereka tetap adik-adikmu, Ris?"

"Mak ... sampai kapan pun mereka tetap adik-adik Risma, tetapi terkadang kita juga perlu tegas, Mak, agar mereka tidak lagi sembarangan," jelasku sama emak. Ibu kandungku itu terdiam sebentar, lalu berbicara pelan.

"Mungkin karena emaknya yang lembek, dan tidak bisa bersikap tegas," keluhnya pada diri sendiri.

"Tidak lah, Mak, mungkin karena Emak terlalu baik dan tulus, jadi mudah untuk dimanfaatkan," kataku, membesarkan hatinya.

"Jika begitu, aku pamit pulang dulu, ya, Mak?"

Aku ingin mencari-cari petunjuk di lemari pakaian Bang Riswan. Siapa tahu bisa mendapatkan petunjuk tentang keberadaan suamiku. Sembari mencium punggung tangannya emak, menggendong Neti lantas pergi meninggalkan rumah besar ini, sembari menuntun Yuli.

Sesampainya di rumah yang luasnya tidak seberapa, kucari-cari benda apa pun yang berhubungan dengan masa lalu Bang Riswan. Semua pakaiannya di lemari baju kuturunkan dan kuperiksa satu-persatu. Bufet kecil, laci dipan tempat tidur, seluruh sudut ruangan, tetapi tidak aku temukan satu petunjuk pun.

Bang Riswan memang seperti sengaja menyembunyikan masa lalunya. Tidak pernah bercerita apa pun. Setiap kali kutanyakan atau meminta dia untuk menceritakan, suamiku selalu bilang, "masa lalu bukan untuk dikenang ataupun di ingat-ingat kembali." Sembari tersenyum, walaupun aku tahu itu sebuah senyum keterpaksaan.

Bang Riswan seperti menyimpan kepedihan, memendam kisah pahit yang berhubungan dengan masa lalunya.

"Mata itu ada di depan, Neng, bukan di belakang." Dia pun bilang seperti itu, dan entah apa maksudnya.

Aku pun sebenarnya tidak mempermasalahkan mengapa suamiku ingin menyimpan masa lalunya. Karena terkadang, ada orang yang ingin menyimpan rahasia pribadinya tanpa ingin diketahui oleh siapa pun, sampai akhir hayatnya. Dan tentu saja setiap orang pasti punya alasan tersendiri untuk itu.

Terduduk dengan pandangan kosong ke arah hamparan kebun teh dari depan rumah.

'Kamu ada di mana, Bang? Anak-anak rindu padamu, begitupun aku' Air mata khawatir dan kerinduan perlahan mulai membasahi pipiku.

'Ya, Allah ... tolong jaga suamiku.'

Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang