12a

3.7K 203 9
                                    

Mamah tergeletak pingsan di lantai. Penyakit jantung yang dideritanya sepertinya kembali kumat. Aku segera menelepon Toni yang menunggu di bawah untuk segera naik ke tempatku berada, guna membantu untuk mengevakuasi Mamah.

Kedua orang "penghianat" itu terlihat sibuk mencari-cari pakaiannya yang berserakan di lantai, dan terburu-buru saat memakainya.
Si wanita, Maharani, yang terlihat dan berkelakuan seperti wanita lugu, baik, perduli, hanya menangis ketakutan. Sementara si pria yang setiap kali bertemu kupanggil Papah, sok-sokan ikut terlihat panik. Aku benci dengan kedua manusia bejat tersebut.

Sang pria selesai memakai baju secara asal lantas berniat ingin membantu. Kucegah langkahnya.

"Jangan coba-coba kau berani sentuh mamahku!" sentakku geram, sembari menunjuk ke wajah Papah. Pria paruh baya itu terdiam, tidak berani mendekat.

"Ta-tapi, Ris," sanggahnya terbata, sembari mencoba lagi untuk mendekat.

"Aku bilang, jangan sentuh mamahku!" sentakku lagi, lebih keras. Menatap wajahnya dengan penuh kebencian dan kemarahan.

Maharani, perempuan berwajah baik, polos, berkelakuan sopan, ternyata hanya topeng kepalsuan. Masih menangis terisak di sudut ruang kamar. Terduduk dengan kedua kaki menekuk.

"Maaf, Mas ...." Wajahnya sudah bersimbah air mata. Aku salah, telah menaruh harapan besar kepadanya.

Tak kuhiraukan ucap lirih perempuan penipu itu saat memohon maaf. Aku adalah korban penipuan biadab mereka. Berpura-pura acuh saat bertemu, ternyata ... tidak lebih dari sandiwara untuk menutupi kelakuan jahat mereka.

"Maafkan papah, Ris," ucapnya pelan, dan kutulikan telingaku, menganggap tidak mendengar suara apa pun.

Terdengar derap langkah kaki Toni mendekat. Dengan tubuhnya yang tinggi besar, sigap dia mengangkat Mamah dan langsung menuju lift untuk segera bergegas membawanya ke rumah sakit. Tak kuperdulikan lagi kedua parasit itu.

Mobil yang dikendarai Toni melaju cepat di tengah derasnya hujan guna mencari rumah sakit yang terdekat.
Mamah masih tergeletak tidak sadarkan diri di atas pangkuanku, yang tak henti-hentinya menyesali diri.

"Mah ... bangun, Mah, bertahan demi Aris, Mah," sesalku pelan, sembari menepuk-nepuk pipinya. Aku benar-benar ketakutan, dan perempuan paruh baya yang sudah dikhianati imamnya itu tidak juga merespon.

Mobil Toni sudah sampai ke rumah sakit, dan langsung dia hentikan tepat di depan ruang UGD. lalu bergerak cepat mengangkat Mamah setelah sebelumnya dia berteriak-teriak kencang meminta disediakan tempat tidur beroda buat mamah.

Aku benar-benar panik melihat kondisi Mamah yang tidak juga sadarkan diri. Rasa ketakutan dan penyesalan menghinggapi diri. Seandainya saja aku tidak memaksa Mamah untuk ikut pergi, mungkin Mamah tidak akan seperti ini.

Aku benar-benar merutuki diri. Menunggu dalam kegalauan di depan ruang tunggu, tanpa mampu berbuat apapun. Petugas perawatan dari Dokter dan Suster yang keluar masuk ke dalam ruangan Mamah semakin membuatku gelisah.

"Ris ....?"

Aku tidak menoleh, ataupun menjawab pertanyaan itu. Mendengar suaranya saja aku sudah tidak suka.

Aku benci mahluk yang kupanggil Papah ini. Seandainya saja dia bukan papahku, sudah kuhajar dia habis-habisan. Geram aku ada di dekatnya.

"Jika kamu menganggap papah sudah mengkhianatimu, ataupun mengambil milikmu, kamu salah, Ris. Papah yang sudah lebih dulu mengenal Maharani," ucap lelaki itu pelan, di bangku tunggu berbentuk panjang berjarak satu bangku kosong di sampingku.

Aku masih terdiam, tidak menjawab atau pun menghiraukan penjelasannya. Sayangnya, telingaku masih bisa mendengar suaranya.

Tony berdiri mengawasiku dari kejauhan, dia memilih untuk tidak ingin menggangguku. Dia juga saksi mata kelakuan pria tidak tahu diri yang duduk di sampingku ini.

"Maharani tidak sebaik yang kau lihat, Ris," ungkap suami penghianat itu pelan, lantas terdiam sesaat. Walaupun aku penasaran, apa maksud dari ucapannya berbicara seperti itu, tetapi aku segan buat bicara dengannya.

"Sudah hampir setahun, Maharani menjadi wanita simpanan, papah." Kali ini dia ucapkan seperti berbisik, tetapi aku bisa mendengarnya.

"Maafkan, papah, Ris."

Ternyata lelaki ini yang sudah membiayai hidup Maharani, tetapi anehnya gadis itu terlihat berpenampilan sangat sederhana. Tidak ada kesan glamor pada pakaian ataupun dandanannya.

'Apartemen dan mobil mahal itu ternyata, harga dari seorang Maharani' ujarku sinis dalam hati.

"Sekali lagi maafkan, papah, Ris," ucap pria itu lagi lirih, dan aku tidak akan pernah lagi bicara terhadapnya. Sudah luntur rasa hormatku kepada pria itu. Bahkan sekarang, untuk memanggilnya dengan panggilan Papah pun tidak akan pernah kulakukan, bahkan di dalam hati sekalipun.

"Papah menyesal." Tertunduk wajahnya memandangi ujung kakinya. Tidak ada respons apapun dariku terhadapnya. Orang ini sudah kuanggap tidak ada.

Dari ujung lorong, terlihat Tante Else berjalan terburu-buru dengan Maharani sedikit di belakangnya. Dari kejauhan, nampak gadis penipu itu terus saja menundukkan kepalanya, saat sudah mendekat baru terlihat jika kedua matanya terlihat sembab.

Aku terpaksa melihat wajahnya, karena Tante Else memanggilku dan menanyakan tentang keadaan Mamah, dan aku tidak marah dengan Tante Else, karena dia pun korban penipuan dari putrinya sendiri.

Seandainya kuceritakan perbuatan amoral yang sudah dilakukan putrinya dengan papahku. Yang aku takutkan, seorang ibu yang sama sekali tidak tahu perbuatan dosa anaknya, juga harus menanggung malu atas kesalahan putri perempuan yang selalu dia banggakan. Dan aku masih punya hati untuk tidak menghancurkan harapannya, apalagi bila sampai membuatnya jatuh sakit.

"Apa yang terjadi dengan mamahmu, Ris?" tanya Tante Else dengan nada khawatir. Maharani dan Papah hanya terdiam saja.

"Jatuh Tante, kaget melihat setan," ucapku pedas, menyindir Maharani dan Papah.

"Setan, Ris?" tanya Tante Else lagi, wajahnya terlihat bingung mendengar jawabanku.

"Iya Tante, Setan. Yang tidak terlihat oleh mata Tante, tetapi saya dan Mamah tadi melihatnya," sindirku lagi. Maharani terlihat menghapus air mata penyesalannya, dan pria penghianat yang berdiri di belakangku tidak berucap sepatah kata pun.

"Serius, Ris, setannya seperti apa?" tanya Tante Else penasaran.

"Sudah lupa Tante, setan-setan itu sudah saya anggap hilang dari hidup saya," ucapku tegas, sembari menon-aktifkan handphone-ku yang berdering, tanpa mau mencari tahu siapa yang barusan menghubungi.

"Saya pamit dulu Tante, ada yang ingin saya bicarakan dengan Toni," pamitku pada Tante Else, tanpa memperdulikan kedua parasit yang ada di dekat Tante Else.

Aku segera mendekati Toni, mengajaknya bicara dengan sedikit menjauh.

"Kamu pasti tahu, 'kan, apa yang terjadi tadi?" tanyaku pada Toni. Aku yakin dia paham maksudku, walaupun dia sendiri tidak melihat secara langsung seperti aku dan mamah.

"Iya, Pak," jawabnya singkat, walaupun kami sebaya, faktor aku adalah orang yang mempekerjakannya, Toni memanggilku dengan panggilan bapak.

"Jangan ceritakan tentang hal ini kepada siapapun, bahkan keluargamu sendiri," pesanku pada Toni, sembari menatap matanya tajam.

"Baik, Pak. Saya janji," jawabnya, lalu kutepuk-tepuk bahunya.

"Aku percaya kamu bisa memegang ucapanmu."

Kulihat Maharani duduk terpisah jauh dari Papah, Tante Else berdiri di depan pintu ruang perawatan, dan lelaki penghianat itu masih terduduk sembari kedua tangannya memegangi kepalanya.

Tidak beberapa lama, pintu ruang perawatan Mamah terbuka. Aku menoleh dari jarak sekitar tujuh meter, lalu berjalan cepat mendekati. Diikuti Toni dan semua yang ada di situ.

"Yang mana keluarga Nyonya Rosalina?" tanya Dokter wanita berkacamata.

Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang