16a

3.2K 182 7
                                    

Sudah lima hari berjalan, Risma tidak lagi kutemui datang ke kobong. Dari kabar yang kudengar, Juragan Hasyim melarangnya untuk mengaji lagi, menguncinya di kamar agar tidak lagi bisa bertemu denganku.

Pagi, selepas menjalankan Salat Duha, di saat sedang berdoa.

"Assalamualaikum." Terdengar suara salam dari arah luar pintu musholla.

"Waalaikum salam." Aku pun segera mengakhiri berdoa, lalu bergegas menemui pemilik suara tersebut yang menunggu di depan teras musholla milik Ustaz Arief. Terkejut dan sama sekali tidak menyangka, melihat siapa yang datang menemuiku, langsung menghampiri dan mencium tangannya.

Sosok yang kuhormati terdiam sejenak, hembus angin mengibar lembut hijab kusam yang dipakainya. Pandangannya menatap kosong ke arah kobong, seperti menyimpan beban. Di sampingnya seperti membawa bungkusan besar di dalam kantong kresek berwarna hitam.

"Emak ingin bicara, Wan?" tuturnya pelan.

"Iya, Mak, silahkan," ujarku mempersilahkan, saat kami sudah duduk saling berhadapan.

"Bagaimana perasaanmu terhadap Risma, Wan, kamu benar-benar mencintai anak emak?" tanyanya, untuk mengetahui seperti apa perasaanku terhadap putrinya.

"Iya, Mak, Riswan benar-benar mencintai Risma," jawabku, penuh kesungguhan.

"Kamu mau berjanji sama emak, tidak akan menyia-nyiakan anak emak?" tanyanya lagi.

"Riswan berjanji, Mak," jawabku lagi.

"Maksud emak menanyakan itu, karena jangan sampai nanti kamu menyia-nyiakan, apalagi menelantarkan anak emak," ucapnya, khawatir dengan keadaan putinya apabila nanti hanya aku permainkan.

"Insya Allah, Mak, Riswan berjanji tidak akan menyia-nyiakan Risma, apalagi sampai menelantarkannya.

"Emak pantas khawatir, Wan. Apalagi Riswan hanya orang perantauan di desa ini. Emak takut jika nanti kamu akan meninggalkan Risma begitu saja," jelasnya.

"Iya Mak, Riswan maklum dengan kekhawatiran yang Emak rasakan. Mungkin jika Riswan berada di posisi emak, Riswan pun akan khawatir juga seperti Emak. Tetapi sekali lagi Riswan berjanji, akan berbuat sebaik dan sekuat mungkin untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga kami nanti jika Riswan dan Risma jadi menikah," jelasku, panjang lebar. Emak kembali menatap wajahku dalam.

"Emak hanya tidak rela, Wan, jika segala pengorbanan yang sudah anak emak lakukan malah akan berakhir dengan kekecewaan." Sembari menyerahkan kantong kresek besar kepadaku.

"Ini apa, Mak?" tanyaku.

"Simpan ini Wan, sebagian baju-baju Risma, taruh di rumahmu. Esok pagi persiapkan pernikahanmu, carikan juga wali nikah untuknya, karena kemungkinan besar, Bapak dan Amran abangnya tidak akan mau melakukannya."

"Maksudnya, Mak?"

"Setiap hari bapaknya Risma pasti akan mengunjungi dan mengawasi sawah kami, emak akan biarkan Risma untuk lari menemuimu di sini. Menikahlah dulu, setelah selesai baru kamu urus surat-suratnya secara resmi. Emak tidak tega melihat Risma hanya menangis saja di dalam kamar." Mulai mengalir air matanya, lalu mengusapnya cepat.

"Anak emak yang di Jakarta pun, Darman, semalam sudah tahu tentang rencana ini saat dia menelepon. Dia mendukung setelah emak ceritakan tentang kondisi adiknya, tetapi dia sendiri tidak bisa menjanjikan jika bisa datang. Makanya emak minta sama Riswan untuk mencarikan wali nikah buat besok."

"Kerabat Bapak di mana, Mak?"

"Bapak tidak punya saudara laki-laki, Wan, kampung kelahirannya sekitar dua kilometer ke arah kanan depan pabrik pengolahan teh, Desa Sekar Wangi, jelas Emak.

"Kenapa Emak mau lakukan ini buat Riswan, Mak?" tanyaku hati-hati. Emak terdiam, terlihat jelas jika beliau menyimpan kesedihan bathin.

"Karena Risma tidak pernah seperti sekarang ini sebelumnya, Wan. Tidak mau makan, sering menangis, emak akan merasa sangat berdosa jika terjadi sesuatu terhadapnya," ucap Emak, sembari menghapus air matanya dengan ujung jilbab kusamnya.

"Makanya emak minta sama Riswan, jangan permainkan dan jaga perasaan anak emak nanti, karena sepertinya Risma sudah memendam cinta yang dalam terhadap Riswan."

Aku tertegun, tidak menyangka cinta Eneng sudah sedalam itu terhadapku, sembari berjanji di dalam hati, akan menjadi suami yang mampu menjaga hati dan perasaannya.

"Jika begitu emak pulang dulu, Wan, persiapkan segalanya besok. Jika kalian sudah menikah, Bapak tidak akan bisa berbuat apa-apa."

"Baik, Mak," jawabku, sembari mencium tangannya.

"Dan satu lagi Wan, kemungkinan emak pun tidak bisa hadir dalam pernikahanmu besok pagi."

Emak langsung pergi, tidak lagi memberikan kesempatan aku untuk kembali bicara atau pun bertanya. Aku terus memandangi tubuh Emak yang perlahan menghilang di kejauhan. Tidak beberapa lama.

"Assalamualaikum, Ris,"

"Waalaikum salam." Salam dan kedatangan Ustaz Arief sedikit mengejutkan.

"Tadinya saya ingin menemani kemari, tetapi saat melihat ada emaknya Neng Risma, jadi saya urungkan," ucap Ustaz Arief.

"Itu bungkusan apa, Ris?" tanya Ustaz Arief.

"Ini sebagian dari baju-baju Risma, Ustaz, disuruh Emak agar disimpan di rumah saya," jawabku, lalu aku mulai menceritakan apa saja yang aku bicarakan dengan Emak kepada Ustaz Arief, termasuk tentang rencana menikah besok pagi, juga tentang wali nikah, termasuk meminta pendapat beliau tentang rencana menikah siri terlebih dahulu dengan kondisi Risma seperti sekarang ini.

"Sepertinya usia Risma sudah lebih dari 21 tahun, jadi ijin dari orang tua sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi. Setuju atau pun tidak, si anak tetap bisa melakukan pernikahan asal sudah memenuhi syarat sah nikah," jelas Ustaz Arief, menarik nafas sebentar, lalu kembali melanjutkan.

"Syarat sah nikah sendiri, ada mempelai pria dan wanita, ada wali nikah, dua orang saksi, mahar, ijab dan qobul, jika itu semua sudah terpenuhi, maka boleh dilakukan pernikahan," jelas beliau lagi.

"Maharnya sudah kamu siapkan, Ris?"

"Alhamdulillah sudah Ustaz, saat datang melamar waktu itu, semua sudah saya persiapkan, mas kawin pun sudah ada," jelasku.

"Alhamdulillah, biar saya yang akan menjadi wali nikah dari Risma, sementara yang menikahkan, kawan saya saat pesantren dulu, insya Allah dia bersedia," ucap Ustaz Arief.

"Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih ya Ustaz, sudah mau membantu saya sampai sejauh ini," kataku.

"Sama-sama, Ris, sekarang kamu persiapkan buat rencana besok, masalah hidangan seadanya biar Umi nanti yang menyiapkan. Semoga Allah mudahkan segala niat baikmu, Ris," ucap Ustaz Arief, mendoakan.

"Aamiin"

Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang