13a

3.6K 213 6
                                    


Selepas dari pemakaman Mamah. Aku meminta Toni kembali ke rumah dahulu untuk mengambil beberapa barang dan surat-surat berharga. Lalu meminta dia mengantarkan aku ke sebuah bank pemerintah ternama untuk menyimpan surat-surat dan beberapa benda berharga ke dalam safety deposit box yang banyak tersedia di bank-bank besar. Kemudian mengajak Toni sebentar menikmati kopi di sebuah kedai kopi lokal yang tidak jauh dari lokasi bank.

"Ton, saya minta kunci mobilnya," pintaku, sembari menyeruput kopi hitam hangat.

"Baik, Pak." Toni lalu memberikan kunci tersebut, tepat di meja depanku.

"Mulai hari ini, kamu kembali kerja di kantor, Ton. Saya sudah hubungi Dipta, agar menyiapkan satu tempat buatmu di Sudirman," jelasku, lalu menyenderkan tubuh di kursi.

"Bapak sudah tidak butuh saya lagi?" tanyanya hati-hati. Yah, Toni ini sudah dari pertama mengikutiku, sejak saat almarhum Kakek mulai memintaku membantu untuk membesarkan bisnis keluarga Kusumateja. Selalu ikut kemanapun aku pergi.

"Saya ingin menepi Ton, menjauhi bisnis, juga mau belajar dan memahami tentang ilmu agama. Kasihan almarhumah Mamah, jika untuk mengirimkan doa pun saya tidak bisa," keluhku, lirih.

"Bapak merasa bersalah dengan almarhumah?" tanyanya pelan, dan aku mengangguk mengiyakan. Aku memang sudah bercerita kepada Toni, jika aku yang memaksa Mamah untuk tetap ikut memberikan kejutan buat Maharani.

"Seandainya aku tidak memaksa Mamah untuk tetap ikut, mungkin tidak akan seperti ini," keluhku lagi. Yah, aku lebih memilih untuk tidak mengetahui hubungan terlarang Maharani dan Papah, dibandingkan jika harus kehilangan Mamah selamanya.

"Jadi Bapak mau kemana?" Aku terdiam sesaat, menghela napas, dadaku masih terasa sesak.

"Belum tahu, Ton. Saya akan mengikuti kata hati saja."

Aku lalu berdiri, diikuti Toni. Menggenggam tangannya erat, sekaligus berterima kasih sudah menemaniku selama ini.

"Hati-hati, Pak. Kapan pun tenaga saya dibutuhkan, saya siap dipanggil kapan saja," ucapnya, lalu mulai pamit pergi menuju kantor pusat Sudirman.

Aku segera melajukan kendaraan menuju luar kota. Sebenarnya, aku sudah lama terpesona dengan satu tempat yang tidak terlalu jauh dari Jakarta. Saat melakukan pertemuan dengan kolega, dan melewati daerah itu. Daerah perbukitan dan pegunungan belakang pabrik teh, milik keluarga Kusumateja.

Aku sengaja tidak memasukkan kendaraanku ke dalam pabrik, lebih memilih ke sebuah motel dan memesan kamar buat seminggu ke depan selama berada di sini. Mulai menghubungi Julius, penanggung jawab tertinggi di pabrik pengolahan teh milikku ini, dan memintanya untuk menemuiku di lobby motel.

Tidak butuh waktu lama, Julius datang menemuiku. Menyalami, kemudian duduk bersama sembari berbincang. Setelah panjang lebar bicara tentang perusahaan, aku mulai menjelaskan tujuan utamaku datang ke desa ini.

"Saya harap, kamu bisa merahasiakan keberadaan saya di sini kepada siapapun."

"Baik, Pak."

"Saya ingin menetap di daerah ini, tidak tahu sampai berapa lama," jelasku. "Kamu cukup tahukan daerah sini?"

"Untuk wilayah sekitaran sini, alhamdulillah saya cukup paham, Pak," jelasnya.

"Saya butuh tempat yang tidak terlalu ramai, tidak padat dan berisik, ingin mencari ketenangan. Di mana kira-kira yang sekiranya tidak terlalu jauh dari pabrik ini?" Julius terdiam, berpikir sejenak.

"Ada Pak, di belakang pabrik teh milik Bapak. Perkampungan kecil yang dikelilingi oleh perkebunan teh milik kita. Tempatnya indah, penduduknya pun tidak terlalu banyak," jelas Julius.

"Di tempat itu, ada guru mengaji tidak, Yus?"

"Guru ngaji, Pak?" paras wajahnya terlihat bingung.

"Iya, Yus. Selama saya menepi dari rutinitas kerja, saya ingin belajar mengaji," jelasku. "Kenapa, tidak boleh?" tanyaku lagi, pura-pura tersinggung.

"Ohh, maaf Pak, maaf. Saya tidak bermaksud seperti itu," ujarnya, wajahnya sedikit kaget, takut sepertinya jika aku tersinggung. Julius terlihat sedang berusaha untuk mengingat-ingat.

"Ada Pak, ada. Di sana ada sebuah Kobong, tempat untuk belajar mengaji."

"Kobong?" tanyaku, terdengar aneh, karena aku belum pernah mendengar kata itu.

"Kobong itu semacam pesantren kecil, Pak. Pesantren sederhana yang bangunan tempat mengajinya lebih banyak berbentuk panggung terbuat dari bambu."

"Bambu?" tanyaku meyakini.

"Iya Pak, bambu. Desa itu memang masih tradisional sekali. Walaupun akses listrik dan internet sudah masuk ke sana," jelas Julius.

"Kamu tahu siapa ustaz yang mengajar di Kobong tersebut?"

"Saya tidak kenal Pak, tetapi jika Bapak mau, saya bisa antar," ucap Julius, menawarkan diri.

"Jika di antar kamu, sebagian dari mereka pasti sudah ada yang mengenal kamu itu siapa. Sedangkan saya tidak ingin ada seorang pun di desa itu yang tahu saya ini siapa." Julius terdiam.

"Besok pagi, saya akan ke desa itu, tolong kamu siapkan motor second. Jangan yang baru yang bekas saja."

"Baik Pak, nanti saya sendiri yang akan mengantarkannya kemari, sore nanti.

"Baik, saya tunggu. Dan satu lagi, tidak boleh ada orang lain yang tahu keberadaan saya di desa ini," kataku lagi, kutekankan pada Julius. Dia pun mengiyakan.

"Oh, iya, Yus. Apa nama desa itu?"

"Desa Cibungah, Pak."

Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang