┉┈◈◉◈┈┉
Depresi yang diderita Kania membuatnya harus menunda pendidikannya selama beberapa waktu. Ia terbang kembali ke Indonesia, kata psikiaternya, bertemu dengan keluarga atau teman lama akan membantunya lebih cepat pulih.
Keluarganya pun merasa terkejut dengan kepulangan Kania. Tak seorangpun tahu keadaan gadis itu. Karena memang jujur saja, Kania tak pernah mengirim surat untuk mereka. Ia terlalu sibuk mengurus putranya, Erick.
Tangisnya tumpah ruah di pelukan sang Mama. Kania di ambang kebingungan, ia takut jika keluarganya tahu masalah Erick, semuanya akan bertambah runyam. Maka ia menahannya hingga berminggu minggu. Sendirian.
"Kania, ada yang nyariin kamu nih. Temen les kamu dulu. Sini ke ruang tamu, temenin dia ngobrol, Mama bikinin minum dulu!" Seru sang Mama, Endah.
Mamanya memang sangat supel dan baik hati. Tidak cuma sekali dua kali ia melihat beliau bercakap cakap dengan orang yang tak dikenal. Dengan rasa sedikit rasa penasaran, perempuan itu akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya.
"Janu?" Panggilnya samar.
Tahun tahun terlampaui, dan itu semua memang menimbulkan banyak perubahan. Dan yah, misalnya perubahan dalam diri laki laki yang dulu menjadi teman lesnya saat SMP ini.
Januar Adiyaksa.
Si pendek tambun yang selalu menjadi objek kejahilan teman temannya di kelas les. Janu suka menyendiri sebelumnya, Kania yang merasa iba pun mendekatinya dan menawarinya bakpia yang di hari sebelumnya dibeli sang Mama untuk oleh oleh. Wajah Janu yang putih tampak berbinar saat mencoba rasa manis dari bakpia rasa ubi ungu itu.
Sejak saat itu, Janu menganggap Kania adalah malaikat penolongnya. Mereka sering pulang les bersama, menyusuri indahnya sisa hari sambil mengobrolkan banyak hal.
Banyak teman teman se-les-annya yang senang bergaul dengan Kania, karena ia ramah dan suka membantu yang kesusahan. Janu pun senang berteman dengan Kania.
Dan kalian pasti tau lah, kisah klasik selanjutnya.
Wit ing tresna jalaran saka kulina.
Cinta datang karena terbiasa.
Dan Janu pun sama.
Tapi ia tidak sempat mengutarakan isi hatinya karena ia dan Kania harus berpisah lantaran keharusan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan. Janu memilih melanjutkan di sekolah menengah kejuruan.
Setelah lulus, ia langsung menjajal di salah satu BUMN yang ada, dan kabar baiknya, ia diterima di sana. Sudah lebih dari 7 tahun sejak ia bertemu dengan Kania. Tapi tetap saja masih nama perempuan itu yang terpatri di pikirannya.
Maka dengan segenap usaha, ia mencoba menemukan kembali keberadaan Kania.
Dan ternyata semesta memang sebaik itu, ia berhasil mendapatkan alamat kediaman keluarga perempuan itu. Dengan senyuman di wajah, ia berangkat ke Surabaya untuk menemui wanita itu.
Hatinya berdebar tak sabar menantikan reuni ini. Apa Kania masih mengenalinya? Secara, fisiknya sudah tak seperti dulu lagi. Kulitnya sudah berubah menjadi lebih gelap dan proporsi tubuhnya pun jadi ideal.
Ya gimana, demi kerja di BUMN.
Waktu satu jam lebih empat puluh tujuh menit ia habiskan di perjalanan. Berdiri di depan gerbang hitam yang menjulang di ⅔ tinggi badannya, ia mulai menekan bel yang menempel di sana.
Seorang wanita yanh tak lagi muda menyambutnya, ia ditanya berbagai hal. Janu bahkan merasa perempuan itu lebih banyak ngomong dari mendiang ibunya.
"Kamu Janu? Beneran Janu temen Kania waktu SMP? Sekarang kok jadi begini? Wah, hebat! Keren banget kamu, Nak! Bentar-bentar, Tante panggilin Kania-nya dulu ya! Kamu duduk di sini sebentar, oke?"
Tak lama setelah kepergiannya, seorang gadis dengan baju terusan se-lutut biru muda muncul. Raut bingung adalah hal pertama yang Janu dapatkan dari gadis itu.
Dan setelah semuanya ia jelaskan pada Kania, Janu memulai sesi seriusnya. Mama juga duduk di salah satu sisi sofa ketika Janu mengutarakan niatnya untuk meminang Kania.
"Tante, sebenarnya saya dateng ke sini nggak cuma mau main aja. Saya.." pemuda itu menggantungkan kalimatnya lalu mengambil napas, keputusan ini akan membawa banyak dampak, entah jawabannya positif atau negatif, ia hanya ingin mencoba peruntungannya, "-saya ingin melamar Kania!"
Kedua wanita itu membelalak dengan atensi penuh ke arahnya. Mama tersenyum sumringah lalu memberikan jempol. Janu bernapas dalam kelegaan.
"Mah, enggak!" Seru Kania bangkit dari duduknya.
Deg!
Janu merasa makdeg, maktratap. Kenapa Kania mengutarakan penolakan? Apa perempuan itu sudah punya kekasih? Ah iya juga, harusnya ia tanya dulu tadi.
"Loh, kenapa? Janu baik, sopan, pemberani lagi. Kamu nyari yang gimana? Toh dia udah kerja juga. Jadi ya ga apa apa dong?"
Raut Kania berubah bingung, tampak putus asa, "Tapi masalahnya bukan di situ, Mah!"
"Terus apa? Duduk, jelasin!" Titah Endah.
"Mah!" Wajah Kania sudah tampak ingin menangis.
Janu yang dari tadi menonton perseteruan antara ibu dan anak itu akhirnya angkat bicara, "Tante, apa boleh saya bicara empat mata dulu dengan Kania?"
Endah menghela napas, mengangguk, lalu beranjak dari ruang tamu kediamannya. Setelah sosok Mamanya hilang, Kania menunduk, Janu menarik tangan perempuan itu dengan lembut agar duduk di sofa kembali.
Mereka duduk bersebelahan, Janu menggenggam tangan perempuan itu. Ia merogoh sakunya. Ketika mendapat barang yang dia cari, Janu lantas memasangkannya pada jari manis Kania. Syukur ukurannya kebesaran sedikit, jadi masih bisa masuk.
"Yah, kegedean.." keluhnya. "Maaf ya, aku nggak tau ukuran jari kamu berapa. Besok kalo kita nikah, aku beliin yang pas."
"Janu.." Perempuan itu mengangkat wajahnya, pipinya sudah banjir air mata. Sang pemilik nama tersenyum, ia menyapu lelehan bening itu pelan. Seolah takut melukai kulit perempuan itu.
"Aku ngga bisa," ujar sang hawa lalu menggeleng berkali kali.
Tangan yang bertautan itu diusap pelan oleh Janu, "Kenapa? Kamu bisa, aku nunggu kamu selama 7 tahun ini, Nia. Aku fokus kerja buat masa depan kita. Aku udah nabung buat biaya hidup kedepan."
Kania menggeleng, "Bukan itu, Janu.. Aku-" tangis perempuan itu kian mengencang, seperti ada masalah sebesar batu raksasa tersembunyi di balik parau suaranya. Janu merengkuhnya dalam pelukan.
"Apapun itu, aku ga akan masalahin. Asal sama kamu, Nia. Aku terima kamu dan semua kekuranganmu. Aku juga manusia yang banyak salah dan kekurangan. Aku bakal usaha melengkapi kekurangan itu demi kamu."
"Janu, ngga. Aku ga pantes buat kamu. Aku– aku kotor.." lirih perempuan itu.
Petir terasa menyambar Janu siang itu. Manusia mana yang tak terkejut sekaligus terpukul mendengar hal seperti demikian?
Pemuda itu menghela napas panjang lalu melanjutkan usapannya pada kepala perempuan itu. Sudahlah, masa lalu hanya tak bisa diubah. Yang bisa dilakukan hanya menjalani masa kini dan berusaha memperbaiki masa depan.
Pelukan terlepas, mata perempuan itu memerah, masih dengan isakan. Dengan telaten Janu mengusap usap surai Kania. "Ngga masalah, Nia. Bagiku kamu sempurna, karena kalo nggak kamu, aku nggak mau."
┉┈◈◉◈┈┉
![](https://img.wattpad.com/cover/316362231-288-k786120.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓]asmaraloka
Fiksi Penggemar[FOLLOW SEBELUM MEMBACA AGAR TIDAK KETINGGALAN UPDATE] ━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━ 🖇 Warning! Banyak kata umpatan- yah biasalah, banyak kata kasar, ada sebut beberapa merk juga- w males mikir dua kali wkwk, plus banyak typo. Mohon kalo nemu typo...