25. Not Yours Anymore

178 26 7
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


___

Angin malam terakhir berhembus, menjatuhkan embun-embun yang awalnya menggantung di balik dedaunan. Fajar menyingsing.

Pagar berderit, besi kokoh yang menjadi tameng antara dunia luar dan teritorial milik Adiyaksa itu bergeser seiring masuknya seorang pemuda yang wajahnya tampak dingin. Jika saja bukan Kania yang menyuruhnya, Erick tidak akan mau datang ke tempat tinggal para Adiyaksa itu. 

Benci? Tidak sama sekali.

Hanya terkadang dia iri pada para saudara tirinya yang setiap hari bisa merasakan kasih sayang dari wanita yang mereka sebut bunda itu. Sedangkan dirinya harus menelan pahitanya hidup di usia yang masih sangat belia. 

Masa bermainnya digantikan dengan pelajaran pelajaran yang dulunya amat berat untuk ia mengerti. Dia dipaksa kuat oleh keadaan. Ditekan untuk terus bertahan tanpa ada harapan untuk mendapat kebahagiaan sebagai imbalan. 

Tapi toh sudah terjadi, mau dikata apa juga, kalau susu sudah jadi miksu, ga bisa kembali ke sapinya. Eh?

"Ngapain ke sini?" 

Belum sampai dia di teras rumah, suara Jalu sudah menyambutnya. Adik bungsunya itu memang judes sekali, ga tau kenapa. But, it's not his bussines. Bodo amat dah!

"Oh, masih idup lu?" sinis Erick balik. 

"Kirain udah kerasan jadi pecundang terus kaga mau pulang lagi. Ternyata masih butuh uang Bunda toh," tambahnya memprovokasi.

Jujur saja mendengar cerita dari Kania bahwa Jalu jarang berada di rumah dan suka mendiamkan Bundanya membuat Erik ikut geram juga. Bisa bisanya dia berlaku seperti itu, belom ngerasain jauh dari Bunda sampe nangis berbulan bulan tetep ga dikasih ketemu sih.

Rasanya dia pengin nonjok muka bocah SMA itu seperti apa yang dilakukan Jalu terhadap dirinya waktu itu. Tapi buat apa? Kekerasan cuma bakal nambah masalah baru. Iya kan?

"Sialan lo emang!" 

Erick cuma mengendikkan bahunya  santai. Sembari bersiul siul, ia mengeluarkan kunci rumah itu dari saku celana kargo-nya. Bak sang pemilik asli, dia dengan lihai memilih satu kunci dan memasukkannya ke dalam lubang.


cklek!

Akses terbuka. Masih dengan siulan yang terdengar, Erick melangkah masuk. Dari arah tangga terlihat wajah masam Jalu yang sedang bersidekap, skeptis. Pertemuan mereka berdua tidak pernah berakhir baik ya sepertinya. 

Erick berjalan tanpa beban melewati tangga yang menjulang hingga lantai dua. Ia menuju dapur lalu membuat kopi untuk dirinya sendiri. Tak sengaja ia melirik ke arah tempat sampah saat membuang bungkus kopi sachetan tersebut. Otaknya mengscan sebentar apa yang baru saja dilihatnya. Tak mau berlama lama memikirkan hal itu, ia kemudian duduk di ruang tengah dan menyalakan TV. Mengganti saluran kotak dengan nyala berwarna itu dengan berita ekonomi dunia saat ini.

Setelah mengambil satu tegukan dari konten di dalam mug merah itu, Erick menurunkan perabotan berbahan porselin itu. Ditaruhnya benda itu di atas meja. Bersamaan dengan itu, Jalu membanting tubuhnya ke sofa single di sisi lain sofa yang sedang ditempati Erick.

"Apa?" Tanya yang lebih tua tanpa melihat wajah Jalu yang kemudian membuang pandangan ke arah rak buku yang tebal tebal isinya. Merasa sedikit gengsi karena ketahuan memperhatikan Erick.

"Apaan yang apa? GR banget lo!" sembur Jalu.

Erick menyugar surainya kebelakang, membuat tatanan rambut yang awalnya semrawut itu agak tersusun. Ia berdehem sejenak, "Lo emang bocah gendheng sih. Kaga heran gue."

Jalu memutar matanya tak acuh lalu menaruh atensi ke layar gawai di tangannya. Kini ruangan besar itu suwung alias sepi. Cuma suara penyiar TV yang berusaha mengisi kehampaan itu dengan membawa berita bertema keruntuhan kripto dan korelasinya dengan bitcoin yang harganya mulai merangkak naik. 

Respirasi yang suasananya berat keluar dari tubuh Erick, sepertinya dia harus membicarakan banyak hal dengan bocah itu. Sebelum semuanya makin tak tertolong. Jujur saja ia sering memendam amarahnya saat tau kelakuan Jalu yang makin ke sini makin kesana itu. 

Dia hanya tidak ingin melihat bulir bulir air mata terjun dari manik indah milik perempuan yang selama ini selalu ia sebut namanya setiap malam. Walau Erick juga sadar diri, ia harus menerima segala konsekuensi yang ada. Ketika merebut hati yang belum selesai dengan masa lalunya, ada dua kemungkinan yang akan dia terima, diterima sebagai pelarian atau menjadi obat dari segala luka dan dijadikan rumah baru bagi diri yang tak lagi utuh cintanya itu.

Entahlah, ia hanya perlu berusaha untuk sekarang.

"Denger-denger lo udah putus ya dari Yara," ucapnya sambil memencet remote untuk mengganti channel ke tayangan anime.

Jalu sendiri membeku di tempat. 

Pertanyaan yang mengena hingga ke relung hatinya. Benarkah ia dan Yara sudah berakhir? Rasanya masih seperti mimpi. Bagaimana bisa dia dengan sadar, berani menyakiti hati gadis yang selama ini ia jaga sepenuh jiwa? Jalu gila.

Melihat reaksi yang demikian dari Jalu, Erick hanya bisa kembali menyapu surainya ke belakang sebelum mengangkat mug tadi dan mengalirkan cairan pekat tadi lewat bibirnya. Ia tersenyum sesaat setelah mencecap rasa pahit di ujung lidahnya.

"Just wanna give you an info, gue sama Yara bakal tunangan setelah dia lulus nanti. Kalo bisa, lo ga usah dateng deh. Gue ga mau liat dia sedih gegara miris liat muka lo yang ga pantes disebut laki-laki."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[✓]asmaralokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang