┉┈◈◉◈┈┉
3 hari kemudian..
Pelataran kelas tercipta genangan air, sisa dari hujan deras semalam. Cuaca memang sedang ekstrem akhir akhir ini. Kadang hujan, kadang panas, kadang kangen, ya gitu. Meresahkan.
Di dalam kelasnya, Yara sedang berusaha menidurkan diri dengan tas sebagai bantal. Semalaman suntuk dia terjaga. Matanya segar walau sudah dia paksakan untuk terpejam.
Karena bosan, dia memilih bergabung dengan Papa dan kakaknya yang sedang menonton siaran pertandingan sepak bola hingga fajar menyingsing. Alhasil, dia melupakan kebutuhan dirinya untuk istirahat hari itu.
"Lo ntar jadi jenguk Jalu?" Tanya Doyeon.
Di tengah usahanya tidur, Yara berdehem sebagai jawaban. Doyeon kembali menyuapkan kacang panggang ke mulutnya.
"Gue temenin aja deh, Yar. Ga usah batu deh lo. Gue tau gimana sifat jelek lo kalo panik. Gue cuma ga mau lo berulah," ujar perempuan itu santai.
Yara tidak menjawab. Atau lebih tepatnya dia tidak punya jawaban untuk itu. Ah, tapi rasanya memang tidak ada jawaban untuk perkataan Doyeon barusan, karena semua itu kebernaran umum.
Di tengah kecamuk pikiran yang membuat rongga kepalanya terasa ingin pecah itu, Yara diam diam berdoa, semoga semuanya bisa dia tangani.
Yara ingin memperbaiki semuanya bersama Jalu.
-
Kendaraan berhamburan keluar dari gerbang, diikuti langkah gembira para siswa yang sedari tadi menanti waktu pulang. Para pedagang kaki lima yang berjejeran tampak antusias mengobralkan dagangannya. Berusaha sekeras mungkin menarik minat anak anak berseragam biru muda itu untuk membeli jualan mereka.
Di bawah sejuknya tanaman yang dijadikan atap halte, Yara berdiri menanti jemputan dari Dimas yang akan mengantarnya ke rumah sakit tempat Jalu dirawat. Sebenarnya ia sendiri penasaran, kenapa Jalu lama sekali opnamenya.
Sebuah mobil civic hitam menepi, Yara mendekat dan membuka pintunya. Dimas tampak dengan celana jeans dan hoodie hijaunya duduk di balik stir.
"Tuh ada burger sama french fries di belakang. Makan," titah Dimas.
Perempuan itu tak ada niat untuk menolak, maka dengan segera ia menjulurkan badannya untuk meraih bungkusan makanan yang dimaksud kakaknya itu. Dalam diamnya ia menikmati rasa burger yang tengah ia kunyah.
"Gimana sekolahnya?" Tanya yang lebih tua.
Yara menelan terlebih dahulu makanannya, karena ia tahu Dimas akan mulai mengomel jika dia bicara sambil makan, tidak sopan katanya. "So far so good lah."
Dimas menghela napas, "Jawaban model apa itu?"
"Ck! Ya biasaaa, sekolah ya cuma duduk, nonton guru, istirahat, makan, masuk kelas lagi, Kak!" Gemas Yara.
"Ya maksud Kakak tuh, ceritain harinya gimana gitu loh, Yar. Buset dah, susah amat ngomong sama Adek Kakak yang satu ini."
Yara memutar matanya, "nyenyenye!"
Cewek kalo udah nyenyenye itu artinya ga punya jawaban, tau kan? Ya tau lah, orang yang baca aja begitu. Aekwkw🤭
Mereka akhirnya sampai di rumah sakit tempat kekasih Yara dirawat selama beberapa waktu ini. Dimas melambaikan tangan sebelum keduanya berpisah, awalnya dia ingin menemani Yara, tapi adiknya itu keukeuh tidak mau. Katanya, 'Kakak mau jadi nyamuk di antara kita? Yara kasian loh, udah jomblo malah disuguhin love birds lagi ngebucin. Kan perih.' Adek laknat emang.
Yara berbalik dan membuang napas pendek, ia sedikit meremat istana buah yang ada di pelukannya sebagai pegangan untuk meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik baik saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Iya kan?
Tak terasa jarak telah terkikis begitu banyak, Yara sampai di depan ruang yang ditempati lelaki itu— kalau menurut alamat yang dikirim Bundanya Jalu. Perempuan itu mengetuk pintu terlebih dahulu.
Cklek!
Pintu terbuka dan menampakkan wajah seorang laki laki. Keiko, pemilik senyum dengan bonus lesung pipi itu mempersilahkannya untuk masuk kemudian.
"Eh, Yara? Masuk, Ra!"
Hanya anggukan yang Yara berikan sebelum dirinya masuk dalam atmosfer yang langsung terasa berbeda di dalam sana. Hatinya terasa menghangat kala melihat sosok yang sudah berhari hari dia rindukan tengah membaca buku di atas ranjang rumah sakit.
"Lu, cariin pacar lo nih! Bukunya ntaran lagi," kata Keiko lalu kembali menduduki sofa dan mengurus pekerjaannya.
Yara melangkah mendekati sosok itu, Jalu masih tetap pada kegiatannya. Tangan gadis itu menurunkan bawaannya di nakas, ia menghela napas berat melihat selang infus yang menempel di tangan kiri Jalu.
"Gimana kabar kamu? Udah mendingan?" Tanyanya lembut.
"Gue ga harus jawab kan?" Balasnya memberi pertanyaan yang terkesan menusuk.
Dering ponsel terdengar, Keiko mengangkat panggilan sambil masih terus mengetik sesuatu di laptopnya. Tampaknya masih seputar pekerjaan. Pemuda itu memutuskan panggilan beberapa detik kemudian.
Ia menggembuskan napas berat sebelum menyimpan dokumennya dan membenahi semua bawaannya.
"Yara, gue boleh titip Jalu dulu nggak? Gue ada rapat sebentar lagi, mungkin bentar lagi Bunda dateng. Sekitar setengah jam(?). Lo ga buru buru kan?" Tanya Keiko sambil mengancingkan jasnya.
"Boleh, Kak. Gue nggak buru buru kok, santai aja."
Keiko tersenyum lega, ia beralih pada makhluk yang masih berkutat dengan bukunya itu, "Jalu, lo jangan bikin Yara nangis ya! Gue gibeng ntar!"
Sebelum benar benar meninggalkan ruangan itu, Keiko sempat mengucapkan kalimat pamit pada keduanya. Lalu sunyi. Hanya ada suara kertas yang dibalik saat Jalu selesai membaca satu muka bukunya.
Yara menekan egonya, dia yang salah juga kan?
Pertama tama, dia menggenggam punggung tangan Jalu yang lebar, kulit pacarnya itu terasa sedikit lebih dingin daripada terakhir kali ia menggenggamnya. Ia dirundung rasa bersalah lagi, tangan ini yang selalu menjaganya.
"Maafin aku," lirihnya dengan pelupuk yang mulai menggenang.
Si adam tak tampak ingin merespon, masih memilih acuh — seakan buku berjudul Maryamah Karpov itu seribu kali lebih menarik daripada eksistensi Yara.
"Aku tau aku salah, aku nggak seharusnya ngelupain hari sepenting itu."
"Hm," deheman pemuda itu membuat Yara yang menunduk langsung mengangkat wajahnya dan menatap pahatan wajah nyaris sempurna itu dengan air mata yang hampir jatuh.
"K-kamu maafin aku? Segampang itu?" Tanya gadis itu.
Jalu membalik halamannya, tanpa memandang wajah Yara ia membalas, "Ya, dan sekarang kita ga ada urusan apa apa lagi. So, lo bisa pergi. Pintunya ada di sana."
Bagai disambar petir, tatapan Yara langsung berubah kosong. Apa katanya tadi? Tak ada urusan lagi? Dan.. apa ia tak salah dengar? Jalu mengusirnya?
"Jalu.." panggilnya dengan suara bergetar, "ak-aku—"
"Keluar, gue muak liat muka lo," tukasnya tanpa perasaan.
Hati gadis itu remuk. Dengan tangis yang hampir lolos Yara keluar dari ruangan itu. Ia memaksa tungkainya agar melangkah lebih cepat.
Tidak! Yara harap ini cuma mimpi.
┉┈◈◉◈┈┉
Author's note:
999 words nih, btw makasi yg udah setia nungguin tulisan" ku yang amburadul ini. Wuuffyouu🦕🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓]asmaraloka
Fanfiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA AGAR TIDAK KETINGGALAN UPDATE] ━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━ 🖇 Warning! Banyak kata umpatan- yah biasalah, banyak kata kasar, ada sebut beberapa merk juga- w males mikir dua kali wkwk, plus banyak typo. Mohon kalo nemu typo...