chapter 18.

497 49 17
                                    

"Jadi yang lain sudah tidur?" Tanyaku pada Harry saat kami keluar dari lift.

"Kurasa begitu, apalagi sekarang nyaris tengah malam,"

"Tapi aku belum mengantuk,"

Harry menghela nafas, "Harusnya kau tidur juga, Ve,"

"Tidak mau," ujarku sambil menggelengkan kepala. Aku memang belum mengantuk. Tadinya malah aku mau lebih lama berjalan jalan di pantai. Tapi sayangnya Harry tidak memperbolehkanku.

"Baiklah, aku akan menemanimu," ujarnya pasrah. "Karena entah bagaimana aku sudah kehilangan rasa kantukku,"

"Benarkah?"

"Tentu saja," Harrypun memegang puncak kepalaku. Inilah yang kusuka dari Harry. Dia memperlakukanku dengan lembut. Aku tidak bisa dipaksa. Karena saat itu juga aku akan menangis. "Zayn punya beberapa bungkus susu coklat, aku rasa dia tidak akan keberatan kalau kita mengambilnya,"

ⓥⓥⓥ

Harry POV

Veve.

Lagi lagi gadis itu diganggu oleh Niall. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri agar tidak membiarkan Niall menyentuhnya. Melihatnya menangis membuatku sedih. Tapi syukurlah aku bisa menghentikan tangisannya. Sepertinya gadis itu suka dipeluk. Walaupun dia tidak mengatakannya, tapi aku tau. Apalagi tubuhnya begitu mungil. Memudahkan kedua lenganku untuk membawanya kedalam dekapanku.

Ada maksud dari semuanya.

Bukan sebuah kebetulan kalau aku, Louis dan Zayn kembali ke kamar kami untuk mengambil ponsel Zayn yang ketinggalan. Dan saat itulah aku mendengar jeritan kecil Ve. Awalnya kukira itu hanya perasaanku saja, tapi kemudian aku mendengar suaranya memanggil namaku. Walau pelan tapi aku bisa merasakannya. Zayn dan Louis juga samar samar mendengarnya. Dan tanpa ragu lagi aku mendobrak pintu kamar Niall.

Betapa kagetnya kami saat melihat kalau Niall nyaris mencium Veve yang sudah ketakutan seperti itu. Tanpa pikir panjang, aku langsung melayangkan tinjuku kewajahnya. Tubuh Veve gemetar karena menangis. Dia terus saja terisak. Dan yang bisa kulakukan hanya memeluknya.

Memeluk gadis yang ketakutan.

Damn, Niall.

Akan kuputuskan tangannya kalau berani mengusik Veve lagi. Kenapa dia selalu cari gara gara seperti ini?

Aku memberikan gelas berisi susu itu pada Veve. Ya, dia ada didalam kamarku sekarang. Didalam sini ada Zayn dan Liam juga yang ternyata belum tidur. Mereka berdua sedang bermain kartu.

"Ha! Aku menang lagi, Zayn," ujar Liam sambil membalik kartu Asnya.

"Damn. Sudahlah, aku mau tidur saja," Zayn terdengar lelah. Dia beranjak keatas tempat tidurnya diikuti Liam yang tertawa tawa sendiri.

"Harr, Ve. Kami tidur duluan ya," ujar Liam pada kami berdua. Zayn pasti sudah sangat bosan sampai meladeni Liam bermain kartu. Dia itu master judi. Pasti Zayn lupa.

"Dan kau, Zayn. Selamat memimipikan kekalahanmu," lanjut Liam sambil melempar bantal kearah Zayn.

"Tutup mulutmu, Payne," ujar Zayn sebal.

Kulihat Veve tersenyum dan mengiyakan mereka.

"Night, Ve. Night, Harr," setelah mengatakan itu, Zayn langsung membalikkan tubuhnya.

"Zayn tidak pernah menang dalam permainan ini. Belum lagi Liam itu master judi," ujarku sambil terkekeh. "Kau belum mengantuk?"

Veve menggelengkan kepala. Tanganku gemas ingin mencubit pipi itu.

rose in you [h.s]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang