"Lepaskan saya!" Ranu mengerang dan terus berteriak sementara kedua lengannya dipegangi.
"Anda harus kembali ke dalam ruangan," salah satu pengawal Aira berhati-hati menahan Ranu tanpa melukai lelaki tersebut.
Penampilan Ranu kacau. Lelaki tersebut hanya bertelanjang kaki dan mengenakan celana piyama panjang sedangkan bagian atasnya dibiarkan terbuka dengan hanya perban lilit yang mengitari area perut hingga batas dada.
"Saya tidak mau disini! Kalian semua tidak bisa menahan saya— arggh!" Bagian perutnya yang tertekan membuat Ranu mengerang kesakitan.
Sementara dua pengawal terap tidak melepaskan Ranu dan berusaha menahannya untuk bergerak lebih jauh. Aira datang dengan langkah tergesa dan segera saja meminta dua pengawalnya untuk mengendurkan cekalan pada lengan Ranu atau akan membuat lelaki tersebut semakin kesakitan.
"Ada apa ini?" Aira mendekati Ranu yang langsung menatapnya, "kenapa Ranu? Kamu masih sakit jadi sebaiknya kembali ke kamar, ya?"
"Saya tidak mau disini dan Mbak Aira tidak berhak memaksa saya untuk tetap tinggal! Saya- arghh... saya mau pergi dari tempat ini!"
Tentu Aira tidak akan membiarkannya. Segera didekatinya Ranu untuk ditenangkan dan dibujuk. "Ranu... dengarkan aku, kamu butuh untuk beristirahat. Jangan memaksakan diri atau lukanya akan kembali terbuka."
"Tidak!" Seru Ranu sebelum terbungkuk akibat memaksakan tenaganya yang tidak seberapa, "Mbak Aira menipu saya... Mbak Aira sengaja membuat saya seperti ini agar menghalangi saya bertemu dengan Anum kan?"
Raut wajah Aira mengeras. Terutama begitu menyadari keberadaan Janu yang menatapnya dengan cengiran mengejek. Anak itu memang kurang ajar dan selalu bersikap semaunya tetapi isi kepalanya tidak diragukan lagi dan sudag pasti Janu memahami situasinya hanya dengan mendengar ocehan tidak berguna Ranu.
"Aku melakukan semua ini demi kebaikan kamu," lalu Aira menatap dua pengawalnya, "bawa Ranu masuk kembali ke kamarnya sekarang juga."
Mendengar perintah tersebut tentu membuat Ranu melakukan perlawanan meski harus membuatnya meradang akibat serangan rasa sakit pada lukanya. "Saya harus pergi... tolong izinkan saya pergi... saya mau menemui— Anum..."
Sebuah kalimat jujur yang semakin menyulut emosi Aira. Akhirnya dibandingkan kembali menyeret Ranu ke kamaranya dan menguncikannya, Aira mengambil sikap untuk melumpuhkannya kembali.
"Bawakan obat biusnya kemari!"
Ranu memberontak dalam cekalan dua pengawal Aira. Tapi sekeras apapun dirinya memaksakan diri tetap saja tidak akan mungkin berhasil dengan tenaganya yang melemah seperti sekarang ini. Lalu seorang pelayan lainnya datang dengan botol kloroform dan sapu tangan kecil.
"Aku terpaksa melakukan ini karena kamu terus saja melawan dan tidak mau menurut. Jadi, jangan salahkan aku..."Aira mulai menuang cairan kloroform pada sapu tangan dan meminta pengawalnya untuk menahan tubuh Ranu.
"Jangan lakukan ini... saya tidak—hngg... mmpt.."
Aira membekapkan sapu tangan yang telah diberi kloroform tersebut pada bagian mulut dan hidung Ranu. Tubuh mengejang tetapi cakangan dari dua orang pengawal Aira menahannya dalam posisi yang tidak bisa melawan sementara Aira terus menekankan lebih kuat.
Perlahan perlawanan yang dilakukan Ranu melemah tubuh lelaki tersebut mulai lunglai dengan dua tungkai menekuk dan tubuh melemas. Dua orang pengawal dengan sikap memegang tubuh Ranu agar tidak sampai jatuh menjembap membentur lantai. Masih belum puas Aira terus menekan sapu tangan tersebut meski Ranu sudah menunjukkan ketidakberdayaannya.
"Hngg—hh... mmmh..." suara lirih Ranu menunjukan bahwa laki-laki tersebut mulai diambil alih kesadarannya secara paksa.
"Kamu tidak akan kemana-mana." Gumam Aira ketika akhirnya melepaskan tekananya dan membebaskan mulut juga hidung Ranu dari sapu tangan berkloroform tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
O B S E S I [END]
General FictionUpdate sesuka hati ❤ Hanya cerita fiksi dan tolong jangan diambil hati setiap adegannya karena mengandung abusive relationship 😉 Selamat membaca :* ■■■ Ranu Hasmi mencintai Anum yang merupakan kekasih hatinya. Sayangnya, statusnya yang hanya karyaw...