"Hnggh... aaah..."
"Hnggh... aaah..."
"Hnggh... aaah..."
Dagu Ranu sedikit diangkat lebih tinggi untuk membuka jalur napas. Cuping hidungnya melebar dengan bibir yang terbuka menerima setiap tekanan udara dari ambu bag dengan katup gas portabel yang diberikan perawat.
"Suster, tolong lebih cepat ya. Acaranya mulai pukul sembilan."
Aira yang muncul dengan sebelah tangan memasang anting di telinganya sempat menatap sekilas. Tubuh bagian atas Ranu sudah rapih dengan kemeja berwarna biru laut yang serasi dengan gaunnya. Sementara bagian bawahnya harus kembali dibersihkan karena tadi sempat buang air kecil hingga membasahi celana.
"Baik Bu," lalu perawat tersebut selesai dan merekatkan diapers dewasa pada bagian privasi Ranu. "Karena pasien sudah tidak bisa bergerak memang sebaiknya dipakaikan diapers disabilitas khusus dewasa Bu. Atau kalau sedang di rumah saja bisa memakai kateter agar lebih nyaman."
Itu belum terpikirkan atau lebih tepatnya Aira tidak menyangka akan datang secepat ini. Memang setelah mendapat suntikan ketiga semalam, kedua kaki Ranu sudah melemas sepenuhnya dan tidak bisa digerakan. Sudah pasti hal tersebut mempengaruhi mobilitasnya dan membuat lelaki tersebut tidak bisa melakukan kebutuhan pribadinya seorang diri.
Mungkin benar kalau Aira harus mulai mempekerjakan seorang perawat untuk membantunya mengurus hal-hal semacam ini.
"Nanti saya akan bicarakan ini bersama Dokter Bram."
Kedua tangan Ranu yang berada disisi tubuh mengentak lemah. Tidak ada perlawanan yang berarti meski saat ini jelas Ranu sedang sangat merasa tersiksa dengan tidakan keterlaluan yang dilakukan terhadap tubuhnya. Ranu ditelanjangi dan dimandikan secara sadar dan itu membuatnya merasa semakin tidak berguna.
"Pakaikan insert pad nya juga. Nanti kami mungkin sedikit lama di acara pernikahan adik saya. Jangan sampai Ranu merusak suasananya."
Perawat patuh dengan membuka kembali perekat diapers tersebut untuk menambahkan dua pad tambahan berupa bantalan di area kemaluan. Selanjutnya menutupnya dan mulai memakaikan celana kain hitam. Mengancingkan lalu memakaikan sabuk.
"Sedikit mengembung, tapi tidak masalah karena dia akan menggunakan kursi roda untuk mobilitas mulai sekarang." Aira menenteng tas tangannya dan bergerak untuk mendekati ranjang.
Penampilan Ranu seharusnya sangat sempurna. Hanya saja celana kain berwarna hitam tersebut terlihat sedikit mengembung karena adanya diapers dibagian dalam yang mengganjal. Tatapan Aira berpindah pada tangan Ranu yang mengepal disisi tubuh.
Dengan lembut, diuraikannya genggaman tangan tersebut. "Nggak apa-apa ya? Acaranya hanya sebentar. Aku janji kita akan segera pulang setelah pemberkatan dilakukan."
Kepala Ranu bergerak untuk memalingkan wajah menghindari belaian Aira di pipinya. Melalui gerakan tangan, Aira meminta perawat untuk menghentikan pemberian gas portabel melalui ambu bag yang melingkupi wajah tampan Ranu.
Kini, tanpa penghalang terlihat jelas bagaimana jejak basah mengaliri pipi Ranu. Laki-laki tersebut menangis karena merasa begitu hina dan tidak berguna. "Kenapa menangis, hm? Suster berikan bantuan oksigen biar kamu lebih tenang." Lalu Aira menatap perawat disisinya, "apa itu kurang membantu?"
"Tidak Bu, obatnya bahkan sudah mulai bekekerja. Dokter Ibnu sengaja meresepkan dosis yang rendah agar kesadaran pasien tidak hilang timbul seperti beberapa hari ini."
Itu benar. Karena pemberian dosis yang tidak berjeda mengakibatkan kondisi Ranu rentan menurun. Aira sendiri yang bahkan meminta agar obat untuk Ranu dikurangi. Biarkan Ranu lemah secara perlahan karena sejujurnya Aira tidak mau melukainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
O B S E S I [END]
General FictionUpdate sesuka hati ❤ Hanya cerita fiksi dan tolong jangan diambil hati setiap adegannya karena mengandung abusive relationship 😉 Selamat membaca :* ■■■ Ranu Hasmi mencintai Anum yang merupakan kekasih hatinya. Sayangnya, statusnya yang hanya karyaw...