Niiittt.... Niiiittt...
Dokter Ibnu menunggu sampai monitor dari oxymeter yang dijepitkan di telunjuk tangan kiri Ranu berbunyi pelan. Baru kemudian memeriksa angka dari monitor digital yang ada.
"Keadaannya cukup bagus. Kita akan siap melakukan treatment kapanpun Bu Aira siap."
Kening Aira sedikit mengernyit. "Treatment? Memangnya treatment apa?"
Lalu Dokter Ibnu dan Bram terlibat saling berpandangan. Sebelumnya Bram memang belum menjelaskan apa-apanya secara detail mengenai rencana yang dibuatnya untuk Ranu. Sementara dirinya berkoordinasi dan membawa Dokter Ibnu datang untuk memeriksa, barulah dirinya memutuskan langkah dan tindakan.
"Bram, treatment apa yang dimaksud oleh Dokter Ibnu?" Tatapan Aira sudah berubah waspada. Tidak akan dirinya biarkan sampai terjadi sesuatu kepada Ranu. "Sebenarnya apa yang kalian rencanakan? Jangan macam-macam, saya peringatkan!"
"Aira, tenang. Kami tentu nggak berani berbuat macam-macam. Dan selama pasien ini menjadi seseorang yang kamu anggap penting, maka dia penanganannya juga akan menjadi prioritas kami. Apa kamu nggak percaya padaku?"
Aira tentu percaya kepada Bram bahkan dibandingkan memanggil dokter pribadinya, Aira lebih memilih memanggil Bram untuk menangani Ranu. "Lalu, apa yang kalian maksud dengan treatment itu?"
"Biarkan masalah ini Dokter Ibnu yang menjelaskannya."
Dokter Ibnu yang sebelumnya hanya diam dan menunggu kini menunjukan senyumnya. Langkah pertama yang dilakukan oleh dokter muda tersebut adalah memperkenalkan dirinya. "Pertama-tama, saya akan memperbaiki dulu cara saya memperkenalkan diri. Saya adalah dokter di Central Hospital sekaligus rekan kerja Dokter Bram, tapi selain jabatan fungsional sebagai dokter disana, saya juga adalah seorang resident yang tergabung dalam asosiasi penelitian bedah Orthopedi dan Neurologi di Jerman. Jabatan saya memang masih resident, tetapi saya sendiri sudah lebih dari mampu kalau hanya sekedar memberikan treatment otot dan saraf."
Aira masih terlihat mecerna informasi baru yang diberikan oleh Dokter Ibnu. Resident apa? Asosiasi apa? Aira sama sekali tidak menaruh peduli, selama Ibnu ini mampu mewujudkan keinginannya untuk membuat Ranu tinggal disisinya maka itu semua tidak akan menjadi masalah.
"Lalu, treatment seperti apa yang kalian rencanakan?"
Bram buru-buru mengoreksinya, "bukan kami, tapi kamu yang akan menentukan sendiri. Mau kamu apakan laki-laki ini?"
"Aku yang memilih?" Aira jelas terlihat mulai tertarik.
Bram mengangguk. "Tentu saja. Dia milikmu dan kamu yang paling berhak untuk menentukan mau kamu apakan. Bisa kami para dokter hanya memberikan analisis diagnosa dan juga masukan yang tentunya itu bisa disesuaikan dengan keinginan kamu."
"Benar bisa semudah itu?"
"Mau mencobanya?" Tantang Dokter Ibnu.
Dan Aira mengangguk dengan antusias. "Saya menginginkan dia—Ranu tetap seperti ini. Saya mau dia tetap lemah sehingga dia tidak memiliki pilihan lain selain tetap tinggal disini dan menerima setiap perhatian saya. Saya... masih belum rela melepasnya."
Baik Bram maupun Dokter Ibnu terlihat berbagi senyuman penuh makna yang sama. Selanjutnya hanya bagaimana mereka memainkan peran untuk mewujudkan setiap keinginan dari Aira.
"Saya bisa melakukannya. Mau melumpuhkannya? Atau membutakannya? Atau mengubahkan menjadi seseorang yang tidak bisa melakukan apapun pun bisa. Jadi, selama dia tidak bisa melakukan apapun, Bu Aira bisa tinggal disisinya dan merawatnya. Apa begitu sudah cukup?"
KAMU SEDANG MEMBACA
O B S E S I [END]
General FictionUpdate sesuka hati ❤ Hanya cerita fiksi dan tolong jangan diambil hati setiap adegannya karena mengandung abusive relationship 😉 Selamat membaca :* ■■■ Ranu Hasmi mencintai Anum yang merupakan kekasih hatinya. Sayangnya, statusnya yang hanya karyaw...