19|OBSESI

1.9K 64 5
                                    

"Satu suap lagi, aaakk...?"

Ranu menggerakan kepalanya pelan. Perutnya sudah terasa penuh meski baru beberapa suap yang masuk. Jika dipaksakan, mungkin Ranu akan benar-benar muntah sebentar lagi.

"S—sudah..."

Aira menarik kembali sendok makannya. "Kamu baru makan sedikit. Gimana mau sembuh kalau makannya sedikit?"

"Mm—muhhal, Mbak..." gumam Ranu yang kembali menyandarkan punggung. Awalnya dirinya sudsh berusaha utuk mekan sendiri tanpa disuapi, tetapi jangankan mengangkat sendok karena untuk menjaga posisi tubuh tetap duduk tegak saja Ranu tidak mampu.

"Yasudah kalau mual minum dulu ya?" Aira menunggu Ranu mengangguk dan baru meletakan mangkuk bubur. Beberapa hari terakhir memang dirinya konsisten menjaga menu makanannya karena Ranu yang terlihat semakin lemas. "Bangun dulu sebentar,"

Ranu menunpu sikut lalu gagal. Erangannya terdengar lemas sekali hingga membuat Aira diam-diam mengulum senyum puas. Akhirnya mau tidak mau Ranu kembali pasrah dan menerima bantuan Aira.

"Ayo, sini... pegang yang kuat," Sengaja sekali Aira bermain-main dan memanfaatkan situasi. Direngkuhnya tubuh Ranu dengan menelusupkan dua lengan dibalik punggung. Setelahnya diposisikan agar Ranu bersandar pada tubuhnya dan baru membantunya minum.

Meskipun ada cara yang lebih mudah dengan menggunakan sedotan, tapi jelas Aira lebih senang menggunakan cara yang merepotkan seperti itu.

"Masih lemas?"

Ranu mengangguk pelan. Kelopak matanya mengerjap lambat. "Mm—mahu... rebah..."

"Nanti dulu, kan baru selesai makannya. Harus duduk dulu sebentar."

Sengaja sekali Aira berlama-lama memeluk Ranu. Akhir-akhir ini memang dirinya merasa bosan terus memeluk Ranu yang terlelap dan ingin menikmati momen dimana memeluk Ranu yang dalam keadaan sadarkan diri seperti sekarang ini. Mendekap tubuh hangat tersebut yang sesekali akan menggerakan kepala dan mengeluh pusing.

"Mmh..." gumam Ranu ketika merasa Aira menggoyangkan pelukan mereka.

"Shhh... diam sebentar."

Gerakan Aira sengaja memancing agar Ranu semakin merapatkan kepala ke dadanya sementara Ranu yang masih sadar tentu menolaknya. Merasa bahwa kedekatan semacam itu sangat tidak pantas dilakukan.

"Mmh... Mbak, kenapa saya... nggak sembuh-sembuh..."

Aira mengulum senyum, "itu artinya kamu harus beristirahat lebih lama lagi. Kurangi memikirkan hal yang membuat stress juga harus rajin minum obatnya."

Padahal jelas-jelas semua itu sudah Ranu lakukan dengan patuh. Dirinya bahkan hanya menghabiskan hari-harinya dengan berbaring di dalam kamar dan selalu menurut setiap waktunya minum obat.

"Mmh... tapi— uhukk..." tubuh Ranu berguncang dan Aira dengan lembut membantu mengelus dadanya.

"Jangan tapi-tapian. Kalau mau sembuh memang harus begitu." Aira memandang wajah Ranu yang mulai tenang. Cuping hidungnya mengembang dan mengempis sementara bibirnya dalam keadaan sedikit terbuka. Ada godaan besar agar Aira tidak sampai menunduk dan meraup ciuman. "Minum obatnya lagi, ya?"

Mendengar kata tersebut, Ranu berjuang keras membuka matanya. Bibirnya bergerak-gerak dan muncul kernyitan di keningnya. "Laaah...gi?"

Itu karena biasanya Aira akan meminta Ranu meminum obatnya di pagi hari dan dimalam hari. Jarang sekali memberikannya di siang hari seperti sekarang ini. Tentu saja alasannya karena setelah meminum obatnya maka Ranu akan benar-benar dibuat lemah dan tidak berdaya. Sementara ketika waktu siang, Aira akan membiarkan Ranu sadar dan menikmati waktu mengurusnya seperti ini.

O B S E S I [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang