Ketika Cassius pertama kali memasuki ruang pribadi Camery Clairemont, hal pertama yang begitu menarik atensinya adalah helaian putih yang serupa hujan salju di musim dingin. Terlihat begitu murni, begitu cantik, dan begitu memikatnya.
Cassius seakan merasa jantungnya berhenti berdegup kala melihat sosok Camery dari dekat. Entah dengan detail wajahnya yang memukau, serupa menelisik lentera di dalam gelapnya malam. Entah dengan kedua manik emas yang bersinar, kulit seputih salju, riasan tipis di wajahnya, anting permata di telinga bertindik, perhiasan emas yang mengilat, atau gaun merah mudanya yang kelihatan mahal.
Cassius bahkan tak bisa mengalihkan padangannya pada manik emas Camery, pun tak bisa memiliki kesempatan untuk memperhatikan megahnya kantor pribadi Camery. Ruangan yang memiliki meja dan kursi untuk Camery, rak buku di belakangnya, sofa beludru yang empuk, dekorasi yang anggun, dan tata letak yang meninggalkan estetika.
Jika Nyvene hendak berkomentar, Nyvene sendiri akan mengatakan bahwa ruangan ini lebih mewah daripada kamarnya di county.
"Oh?" Suara yang dikeluarkan dari bibir mungil yang merona mesra itu kedengaran manis di telinga Cassius. "Rupanya Putra Mahkota Embrose yang saya hormati," ujar Camery, tetapi tak bangkit dari kursinya untuk memberikan penghormatan khas pada keluarga kerajaan. Seolah salam khas yang kerap kali dilakukan oleh para bangsawan tidaklah penting di dalam ruangan yang merupakan teritori Clairemont.
"Silakan duduk, Yang Mulia," sambung Camery, menunjukkan senyum paling cantik di bibirnya yang mungil.
Cassius entah mengapa merasa gugup. Dia menelan ludah dan duduk di kursi beludru di hadapan Camery, sementara Nyvene berdiri di sampingnya, selayaknya ksatria terpercaya yang akan melindungi majikannya dengan nyawanya sendiri.
"Jadi, apa yang membuat Yang Mulia yang agung ini mengunjungi tempat saya yang rendahan ini?"
Cassius mengerutkan dahinya karena Camery terlalu merendah, tetapi sorotnya kembali lembut. Menjadi seorang putra mahkota yang digemari orang-orang karena kefasihan lidahnya, menganggap bahwa kepribadian Cassius yang rupanya hanya topeng semata itu bisa mudah untuk didekati.
Cassius mengalunkan tawa kecil, membuat wajah perpaduan antara tampan dan manis itu semakin bersinar. "Tidak perlu merendah diri, Nona Camery. Ruangan ini sangat megah, aku bahkan sampai merasa kagum, dan tidak bisa mengalihkan pandangan dari betapa mewahnya ruangan ini. Rupanya, Clairemont tidak pernah gagal memenuhi ekspetasiku, ya."
Camery ikut mengalunkan tawa, tetapi sorot matanya tajam. Cassius bisa menyadarinya.
"Wah, wah, saya merasa terhormat telah mendapatkan pujian dari Anda yang agung ini."
"Aku juga senang bisa berkunjung kemari." Postur tubuh Cassius terlihat sangat anggun dan berkelas, dia telah bekerja keras siang dan malam untuk mempertahankannya. "Jadi, Nona Camery. Aku akan langsung mengatakan tujuanku datang kemari, yaitu meminta kerja samamu untuk menangkap pelaku pembunuhan yang membuat para rakyatku merasa resah."
"Ho?" Camery tertawa kecil, terlihat seolah dia terhibur oleh satu-dua hal. "Boleh saja, Yang Mulia."
"Benarkah itu?" Cassius tidak melunturkan sorot kelembutan di matanya. Meski demikian, Cassius jadi bisa tahu jika Camery memiliki makna lain dari kalimatnya hanya dengan mendengar nada bicaranya. Ada sesuatu yang diinginkan Camery dari Cassius. Terlebih, gelarnya sebagai Putra Mahkota Embrose cukup menguntungkan, sehingga Cassius bisa digunakan dengan mudah demi keuntungan pribadi.
"Namun, harganya cukup mahal. Bahkan seribu keping emas saja tidak cukup sebagai bayaran saya untuk bekerja sama dengan Anda."
Lihat? Dia keluar. Sifat aslinya. Orang yang serakah akan kekayaan, Cassius menggeram dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
END | Not Your Typical Protagonist
Historical Fiction"Ketika asa seumur hidup yang dilalui lewat jalur iblis rupanya hanyalah tipuan manis." Putra Mahkota Cassius Embrose menghadapi teror dari serangkaian pembunuhan misterius yang mengguncang kerajaannya. Untuk memecahkan kasus ini, Cassius bekerja sa...