6

649 107 9
                                    

"Apakah benar tak mengapa, Yang Mulia?" tanya Nyvene.

Camery sudah kembali ke kediaman Clairemont dan meninggalkan Cassius dengan benaknya yang berantakan dalam situasi yang menegangkan.

Cassius menggigit bibir sebelum mengangguk perlahan. Refleksinya yang berada di kaca jendela terlihat begitu menyedihkan, hingga Cassius pun merasa muak menatapnya, lalu Cassius memutuskan untuk mengalihkan pandangannya.

Panorama Kerajaan Embrose dari balik jendela istananya menampilkan ribuan lentera yang menyala di langit malam sehingga terlihat begitu cantik, tetapi suasana hati Cassius tetap buruk.

"Ya, kuharap aku mengambil keputusan yang benar, Ibu," gumamnya. Jemarinya menelusup ke dalam saku di kemejanya, mengenggam sebuah liontin berbandul emas dengan erat.

"Yang Mulia," panggil Nyvene dengan lirih, "saya akan melindungi Anda, apa pun yang terjadi."

Cassius melayangkan senyuman lemah pada Nyvene. "Ya, terima kasih banyak. Kumohon tetaplah berada di sisiku, lindungi aku dari bahaya."

"Saya berjanji, Yang Mulia. Kita sudah berbagi sumpah ksatria ketika saya pertama kali berada di samping Anda."

"Hanya kamu yang bisa aku percaya, Nyvene." Pegangan tangan Cassius pada liontin mengerat. "Aku harus menjadi seorang raja, apa pun caranya."

"Ya, Yang Mulia." Nyvene tersenyum, mengagumi sosok Cassius, tetapi pula mengasihaninya, lagi dan lagi.

***

Cassius tidak suka situasi ini. Sekali lagi, Cassius tidak menyukai situasi ini. Meski suasana taman begitu asri, suasana hatinya tidak berkata demikian.

Setiap kali Cassius mengangkat cangkir teh, tangannya bergetar dengan samar. Dan kala Cassius menghirup harum teh bunga mawar yang seharusnya memberikan kenyamanan tersendiri, Cassius malah merasa mual.

Teh yang disajikan aman dari racun. Sebab, istana putra mahkota telah diinspeksi luar dan dalam hingga barang-barang serta bahan makanan yang disajikan akan terbebas dari bahaya. Namun, satu-satunya yang membuat kondisi Cassius seperti ini adalah kehadiran sosok dengan rambut hitam dan manik sebiru langit di hadapannya, yaitu adik tirinya, Ryle Embrose.

"Kudengar, Kakak akan mengadakan pesta dansa dua minggu dari sekarang?" tanya Ryle, senyuman di wajahnya yang manis membuat para pelayan yang menepi menjadi salah tingkah.

Selain Cassius, Ryle pun memiliki wajah yang identik dengan raja, sehingga keduanya terkadang berbagi kemiripan dalam postur dan kontur wajah. Cassius dan Ryle memiliki wajah yang tampan, tetapi manis di saat yang bersamaan. Hanya saja, Cassius memiliki ciri-ciri ibu kandungnya dibandingkan Ryle yang merupakan salinan raja.

"Benar." Cassius mati-matian menahan agar senyumannya tidak terlihat kecut. "Undangan sepertinya sudah tersebar dengan baik dan sampai padamu, ya?"

"Ya, Kakak." Senyuman Ryle terlihat cerah dan tulus, seolah Ryle melihat Cassius sebagai seorang kakak dan bukan seorang saingan takhta. "Aku mendapatkan undangan. Ibu juga akan datang, katanya. Kalau untuk Ayah ..., aku ragu beliau memiliki waktu."

"Bukankah sudah biasa bagi Yang Mulia Raja untuk tidak menenggelamkan diri dalam pesta?"

"Ya." Sorot Ryle terlihat sangat kecewa. "Setidaknya, aku ingin akrab dengan Ayah. Sebaiknya Kakak juga memanggil Ayah dengan sebutan Ayah dibandingkan Yang Mulia. Jika begini, Kakak terlihat seolah mengukir jarak dengan Ayah."

"Bukankah itu kebenarannya?"

Ryle mengembuskan napasnya. Maniknya yang sebiru langit kelihatan lelah, tetapi tak bisa mengkritiki pendapat kakaknya. "Hanya saja, ketika aku melakukan inspeksi ke kediaman bangsawan atau ibu kota, keluarga mereka terlihat sangat harmonis. Aku ..., jujur saja merasa sangat iri, dapat memiliki dengan keluarga seperti itu."

END | Not Your Typical Protagonist Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang