"Apa maksudmu tidak ingin memberi tahu?!"
Bentakan Nyvene membuat Pierce terlonjak, bahkan tubuhnya bergetar samar.
Situasi ruangan kerja Cassius berubah tegang, bahkan sinar matahari yang hangat rupanya masih tak mampu untuk mencairkan suasana.
"Nyvene! Jangan naikkan nadamu pada Pierce!" potong Cassius, membuat Nyvene mengalihkan pandangannya pada Cassius.
"Yang Mulia, jika kita tidak mendapatkan informasi apa pun dari Pierce, maka segala yang Anda bangun selama ini akan lenyap!"
Cassius menghela napasnya. "Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak masalah jika Pierce tidak mengatakan apa pun?!"
"Tunggu Yang Mulia, Anda juga tidak boleh menaikkan nada suara Anda," sela Camery sambil mengerutkan dahinya. "Pierce akan semakin ketakutan."
Cassius tersentak, lalu mengalihkan pandangannya pada Pierce. Cassius menggigit bibirnya. Bagaimana bisa dia membuat seorang anak ketakutan padanya?
Cassius mendekati Pierce secara perlahan dan berlutut di hadapan Pierce yang duduk di atas sofa. "Maafkan aku, Pierce. Aku tidak bermaksud seperti itu. Tidak perlu takut lagi, ya? Baik aku dan Nyvene tidak akan melakukannya lagi."
Pierce menundukkan kepalanya dalam, menatap kedua tangan yang terkepal erat di atas paha. "Tidak, tidak apa-apa, Kak Cassius. Aku tahu bahwa aku juga sama bersalahnya di sini."
"Lihat, Yang Mulia. Anak ini pastinya tahu sesuatu, bukan?" potong Nyvene.
Cassius menghela napasnya. "Nyvene, ini perintah dariku, tutup mulutmu atau aku akan memaksamu begitu."
Nyvene menggeram kesal, tetapi menuruti perintah Cassius dan menutup mulutnya, tetapi enggan melepaskan tatapan tajam dari kedua maniknya yang berwarna cokelat.
"Pierce, aku yakin kamu mengetahui sesuatu. Jadi, bisakah kamu sedikit membantuku? Informasi sekecil apa pun akan sangat membantuku." Cassius menggenggam jemari kaku Pierce, memperlakukan anak itu selembut mungkin. Cassius membujuk, sebisa mungkin tak membuat nada suaranya seakan menuntut.
Camery yang memperhatikan interaksi tersebut, mau tak mau merasa kagum pada sang putra mahkota. Setelah melihat momen kemarin, Camery memang telah menyimpulkan bahwa Cassius menyayangi anak-anak dan tulus pada mereka. Namun, betapa lembutnya kalimat yang dituturkan, mampu membuat Pierce meluruhkan ketegangan di tubuhnya.
Camery menyeringai. Terlepas dari wajah yang pernah dipasangkan ratusan topeng, wajah aslinya yang lembut rupanya lebih baik.
Pierce tercekat, suaranya serak kala dia membuka bibirnya, "Aku tidak bisa memberi tahu."
"Mengapa itu, Pierce? Tentu kamu memiliki alasan tersendiri, bukan?" tanya Cassius.
Pierce menggelengkan kepalanya dengan keras. "Aku tidak bisa memberi tahu! Aku tidak mampu membantu Kak Cassius, aku seharusnya tidak pantas berada di sini, di sisi sang putra mahkota, tetapi aku hanyalah anak egois yang mendambakan kebahagiaan."
Cassius sedikit panik kala Pierce mulai terisak. Dibawanya seorang anak yang rapuh ke dalam rengkuhannya, dibelainya punggung Pierce untuk menenangkan anak itu.
"Tidak apa-apa, kamu tidak perlu memberi tahuku jika kamu tidak mau, ya. Tidak perlu menangis lagi."
"Tidak bisa seperti ini, Yang Mulia!" Nyvene mengabaikan perintah Cassius untuk tutup mulut dan melangkah maju untuk menarik tubuh Pierce dengan kasar. "Nak, aku bukanlah orang yang sabar. Jadi, katakan apa yang ada di dalam pikiranmu sebelum aku memaksamu!"
"Nyvene!" Cassius menarik tubuh Pierce dan kembali memeluknya. "Jangan kasar padanya! Bukankah aku sudah mengatakan padamu untuk berdiri di sana dan tutup mulutmu?" tanya Cassius dengan dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
END | Not Your Typical Protagonist
Historical Fiction"Ketika asa seumur hidup yang dilalui lewat jalur iblis rupanya hanyalah tipuan manis." Putra Mahkota Cassius Embrose menghadapi teror dari serangkaian pembunuhan misterius yang mengguncang kerajaannya. Untuk memecahkan kasus ini, Cassius bekerja sa...