"Tuan Marquis! Gawat! Pasukan Caelan sedang menyerang!"
Wajah Antonie yang awalnya berbinar karena membayangkan akan seberapa kaya dia setelah menjual hasil panen pada Kerajaan Soleil, berubah menjadi kusut.
"Apa?! Mengapa pasukan Caelan menyerang tempat ini?! Tidak, mengapa mereka bahkan tahu pelabuhan tersembunyi ini?!" teriak Antonie dengan emosi yang tercampur aduk. Antonie tiba-tiba merasa murka, tetapi pula merasa ketakutan.
"Saya tidak tahu, Tuan Marquis." Pria itu tampak ragu untuk mengatakannya. "Namun, Y-Yang Mulia Putra Mahkota-lah yang memimpin pasukan."
Kalimat dari bawahannya membuat Antonie membulatkan matanya. "Apa?! Bajingan kecil itu yang memimpin pasukan?! Sudah kuduga! Kunjungannya ke kediamanku saat itu sangatlah mencurigakan! Rupanya ini yang dia cari!"
"Tuan Marquis, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya bawahan Antonie dengan ragu.
"Berapa banyak hasil panen yang belum dinaikkan ke dalam kapal?" tanya Antonie, berusaha agar tidak kelihatan panik dan memikirkan sebuah solusi dengan tenang.
"Jika menilai dari gudang, sekitar satu hingga dua ton lagi yang tersisa, Tuan Marquis."
Antonie menggeretakkan rahangnya. "Ini tidak bagus! Percepat saja pengangkutan. Angkut yang bisa dimasukkan ke dalam kapal dan segera berlabuh! Meski Cassius sialan itu mencoba untuk menghentikan pun, bahan baku yang sudah melintasi lautan tak akan bisa dibawa kembali."
Bawahan Antonie mengangguk mengerti. "Baik, Tuan Marquis," katanya sebelum meninggalkan ruang kantor kecil di mana Antonie menggunakannya sebagai tempat berehat.
Antonie menendang kursi hingga terjatuh dan berteriak frsutrasi. "Bajingan kecil itu! Lihat saja nanti! Akan kubawa kau pada kehancuranmu!"
***
Sepasang manik emas milik Cassius menyapu medan pertempuran di atas kuda putih yang gagah. Di samping kiri dan kanannya adalah Lucilius dan Camery dengan kuda berwarna hitam yang eksotis. Sementara itu, Pierce duduk di kuda yang sama dengan Cassius, turut menyapu seluruh pelabuhan yang kini berubah menjadi medan pertempuran.
Walaupun dikatakan sebagai medan pertempuran, para pasukan Caelan telah berjanji tak akan menumpahkan darah, kecuali jika memang diperlukan.
"Bagaimana, Pierce? Menemukan teman-temanmu?" tanya Cassius dengan lembut, melirik Pierce dengan kedua tangan di bahu Pierce, bermaksud untuk mendukung anak itu.
Pierce yang tak menghentikan sepasang manik cokelat untuk menelusuri medan perang perlahan menggelengkan kepalanya. "Saya belum menemukan mereka, Yang Mulia."
"Yang Mulia?" tanya Cassius sambil mengerutkan dahinya bingung. "Mengapa begitu formal, Pierce? Kamu bisa memanggilku Kak Cassius seperti sebelumnya."
Pierce terkekeh tanpa mengalihkan pandangannya. "Mana mungkin, Yang Mulia. Anda sudah menyelamatkan saya, bahkan membantu teman-teman saya. Saya tidak bisa berlaku tidak pantas di hadapan Anda."
Cassius memahami apa yang hendak Pierce utarakan, tetapi tidak bisa menekan rasa sedih kala mendengar sedikit jarak dalam kalimat Pierce. Cassius tiba-tiba merasa kesepian.
"Ah! Itu di sana, Yang Mulia!" Pierce menunjuk sudut pelabuhan di mana beberapa anak dari kisaran usia belasan tengah berkumpul dengan sorot ketakutan di wajahnya.
"Baiklah, ayo ke sana! Nona Camery, jangan menjauh dariku dan Tuan Lucilius komandoi para pasukan untuk menggantikanku."
"Baik!" Camery dan Lucilius menjawab bersamaan.
Cassius pula memecut kudanya hingga kuda berwarna putih itu berlari melintasi medan pertempuran, dengan Camery yang menyusul di belakangnya.
Kedua kuda yang begitu kontras warnanya meliuk di antara pasukan Caelan yang melumpuhkan orang-orang Antonie, tidak membunuh mereka, hanya membuat mereka hilang kesadaran atau melumpuhkan sementara.
KAMU SEDANG MEMBACA
END | Not Your Typical Protagonist
Historical Fiction"Ketika asa seumur hidup yang dilalui lewat jalur iblis rupanya hanyalah tipuan manis." Putra Mahkota Cassius Embrose menghadapi teror dari serangkaian pembunuhan misterius yang mengguncang kerajaannya. Untuk memecahkan kasus ini, Cassius bekerja sa...