Udara terasa segar kala semilir angin menyapu wajah Cassius, turut menyeret helai rambutnya yang hitam untuk menari di udara. Jubahnya yang berwarna putih ikut berkibar, pun lembaran alkitab di kedua tangannya kala Cassius berdiri di pekarangan gereja.
Cassius tersenyum tulus, membuang seluruh topeng yang pernah Cassius pasang di wajahnya. Kini, tak ada lagi senyuman palsu, tak ada lagi sorot yang palsu, hanya ada ketulusan terpancar di wajah Cassius.
"Cassius!"
Pria yang kini telah menginjak usia ke-27 itu menolehkan kepalanya kala namanya dipanggil oleh suara familier.
Nyvene dengan senyuman lebarnya menghampiri Cassius, tetapi tampaknya tak bertangan kosong kala Cassius menangkap kantung kertas berisi sayuran.
"Karena kamu membantu di ladang saat itu, mereka memberikan banyak sayuran untukmu," ujar Nyvene sambil tersenyum lebar.
Cassius menutup alkitab di tangannya, lalu tersenyum. "Benarkah? Sampaikan terima kasihku pada mereka saat kamu kembali ke pasar."
"Tentu saja, Cassius. Akan kusampaikan saat aku kembali mengunjungi mereka."
Nyvene menghampiri Cassius lalu tersenyum lembut, memperhatikan penampilan Cassius. Setiap inci kulit yang meninggalkan bekas luka akibat cambukan ditutupi oleh pakaian pendeta berwarna putih. Meskipun terlihat sederhana, mantan raja itu terlihat begitu berkilauan. Sepasang manik emas yang pernah kehilangan binarnya, telah menumbuhkan sinar baru yang hangat dan tulus.
Setelah lari dari Kerajaan Embrose, keduanya mengembara ke berbagai tempat sebelum tiba di sebuah desa yang jauh dari keramaian, hanya ada rasa damai di sini. Cassius memutuskan untuk mengisi posisi pendeta yang kosong di gereja, lalu mengurus rumah Tuhan tersebut, dan mengasihi anak-anak yatim yang tumbuh di gereja dengan cinta yang setara. Karena ketulusannya pada anak kecil juga membuat Cassius memiliki poin plus dari rakyat setempat.
Sesuai janjinya, Cassius banyak membantu orang-orang, hanya melakukan kebaikan tanpa melibatkan iblis yang pernah bersemayam dalam jiwanya. Karena kebaikannya, Cassius dipuji dan dibalas kebaikannya oleh rakyat desa.
Karena bukan Kerajaan Embrose, mereka tak mengetahui kejahatan yang pernah Cassius lakukan, sehingga hanya bisa melihat kebaikan Cassius yang suci saja.
"Apa kamu bahagia sekarang, Cassius?"
Semilir angin kembali menerpa wajah Cassius. "Entahlah, Nyvene. Mungkin ya, atau mungkin juga tidak."
Nyvene mengangkat sebelah alisnya.
"Aku kehilangan mimpiku, tetapi aku bersyukur bisa tetap hidup dengan mengabdikan diriku pada kebaikan." Cassius menatap Nyvene, lalu tersenyum lembut. "Terima kasih telah menyelamatkanku."
"Sudah menjadi tugasku sebagai seorang ksatria."
Cassius terkekeh. "Gelar itu tak lagi penting di sini. Kita hanyalah Cassius dan Nyvene di sini, tanpa nama keluarga, pun gelar kehormatan."
"Kamu benar, Cassius."
Senyuman lembut Cassius berubah sendu. "Apakah kamu menyesal telah menyelamatkanku, Nyvene? Tidak, bukan itu, tetapi apakah kamu menyesal telah mengikuti jalanku sebagai bunga kematian pada saat itu? Jika kamu tidak mengikutiku, mungkin kamu masih seorang Salvador, kamu masih bisa hidup dengan nyaman, dan Embrose tidak akan memburu nyawamu."
Nyvene terkekeh. "Mengapa harus menyesal? Tanpamu, aku hanya akan menjadi boneka Salvador. Kamulah yang mengenalkanku pada kebahagiaan, ingat?"
"Ya." Cassius menundukkan kepalanya. "Namun, pasti berat bagimu untuk memenuhi permintaan egoisku, bukan? Kini, kamu sepenuhnya terseret dan tidak bisa lagi kembali."
"Cassius, entah akan kamu bawa aku ke neraka atau surga, akan aku ikuti kamu. Sebab, sudah tugasku untuk menemanimu menuju tujuanmu, bukan?"
Cassius mengembuskan napasnya panjang, lalu menanggalkan senyuman sendunya menjadi kelembutan di sana. "Terima kasih banyak, Nyvene."
Mungkin ke depannya akan ada petak langkah lain yang penuh akan risiko, mungkin neraka saja tak cukup sebagai penebus dosa, mungkin baik Cassius dan Nyvene tak akan mencapai kebahagiaan yang didamba dengan langkah yang keduanya bagi, mungkin Cassius akan tenggelam dalam dosanya sendiri, atau mungkin Nyvene akan mengikuti langkah Cassius dan terseret ke dalam pedihnya neraka bersamanya. Akan tetapi, selama keduanya memiliki satu sama lain, tak apa-apa, semuanya akan kembali baik-baik saja hingga malaikat kematian akhirnya mengatakan bahwa detik keduanya untuk hidup telah habis.
TAMAT
Aku sebenarnya udah bikin rencana buat bunuh Cassius aja, tapi dipikir-pikir, Cassius nggak pernah bahagia. Makanya, aku kasih kesempatan untuk terus hidup, terus cari kebahagiaannya sendiri.
Terima kasih banyak sudah membaca Flor de Muertos, penulis senang kalau kalian menikmati cerita penuh red flag ini. Note ini mungkin bakalan sedikit panjang, jadi it's okay untuk mengabaikannya.
Sebelumnya, aku nggak pernah berpikiran, apa maksudnya menyalurkan perasaan lewat secarik kisah? Aku mungkin nggak terlalu mengerti juga. Lagian, cuma nulis, kan? Apanya yang menyalurkan perasaan? Lalu, aku dan Flor de Muertos bertemu.
Di dalam kisah Cassius yang menceritakan pikirannya yang berantakan, obsesinya, rasa putus asanya, ketakutannya, rasa resah tak terkira kala dihadapkan pada impiannya, segalanya adalah penyaluran perasaan aku. It's kinda weird, saat aku menulisnya, saat aku mendeskripsikan penderitaan Cassius, aku menulisnya dengan lancar, seolah aku adalah Cassius sendiri, seolah aku adalah orang yang merasakan apa yang Cassius derita. It's true. Karena Cassius adalah aku, dan aku adalah Cassius. Mengecualikan aku yang nggak akan pernah membunuh orang dan melakukan kriminalitas, ya. Namun, pada akhirnya, aku nggak tahu harus bersyukur atau nggak karena dihadapkan pada sebuah masalah yang memang memberatkan aku, masalah yang relate dengan situasi Cassius di dalam novel, masalah yang membuat Cassius dihadapkan pada pedang dua sisi, mau lari ke mana pun, bakalan berujung luka. Tapi karena masalah ini pula, karakter Cassius lahir, menjadi sebuah cerita, menjadi sebuah hiburan bagi para pembaca. That's why, aku nggak bunuh Cassius di akhir. Karena aku juga ingin mati dengan keadaan bahagia. Aku memberikan Cassius kesempatan kedua, supaya aku juga bisa menikmati hidup aku.
I love Cassius, more than any other character that I've created. Cassius is my world. Cassius itu sosok putus asa yang mendambakan cinta, mendambakan rasa untuk diakui. And I don't know if I have to laugh or not, karena aku ingin diakui, aku putus asa ingin diakui. It's kinda embarrassing buat mengakui hal ini, tapi karena pembaca Flor de Muertos yang sedikit, rahasia ini nggak akan banyak terkulik. Well, bukannya aku seneng pembaca Flor de Muertos sedikit, aku pengen novel ini justru dikenali lebih lagi. Dan di saat novel ini lebih banyak dikenali di masa depan (semoga), kasih tahu aku supaya note ini dihapus. Karena bakalan memalukan banget.
Makanya, aku mencintai Cassius. Aku harap, banyak orang yang mencintai Cassius ke depannya juga. Terima kasih sudah membaca note sampai akhir, sampai jumpa di kisahku yang berikutnya.
26 Juli 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
END | Not Your Typical Protagonist
أدب تاريخي"Ketika asa seumur hidup yang dilalui lewat jalur iblis rupanya hanyalah tipuan manis." Putra Mahkota Cassius Embrose menghadapi teror dari serangkaian pembunuhan misterius yang mengguncang kerajaannya. Untuk memecahkan kasus ini, Cassius bekerja sa...