Seharusnya, Cassius merapikan pikirannya yang berantakan setelah menerima informasi yang mengejutkan dari Nyvene. Akan tetapi, tak ada waktu baginya untuk termenung sia-sia.
Langkah kaki Cassius membawanya menjejaki jalur yang familier. Di mana kala Cassius masih kecil, dia sering melintasi jalanan yang sama, hingga memorinya melekat dengan sempurna dalam benak.
Cassius tidak menyadari ke mana dia pergi sebelumnya, tetapi dia baru tersadar kala Cassius tiba di sebuah bangunan mewah.
Sedikit ragu, Cassius menetapkan dirinya, lalu memasuki istana pangeran dengan langkah percaya diri.
"Yang Mulia Putra Mahkota," sapa kepala pelayan wanita di pintu utama sambil menundukkan tubuh sesuai etiket.
Cassius hanya menunjukkan senyuman tipisnya.
"Jika saya boleh bertanya, apa yang Anda butuhkan di istana ini, Yang Mulia? Jika Anda ingin menemui Yang Mulia Pangeran, beliau baru saja meninggalkan pekarangan istana untuk urusan diplomasi."
Cassius tersenyum lembut, menutupi segala lara di wajahnya seperti biasa.
"Ah, aku tahu itu. Ryle memberi tahuku mengenai keberangkatannya, dan memintaku untuk mengambil sesuatu di ruangannya untukku. Sebelumnya, Ryle meninggalkan sesuatu untukku, tetapi belum sempat untuk memberikannya secara langsung," ujar Cassius, sang pemilik lidah yang fasih tanpa harus tersendat dalam kalimatnya yang penuh akan kebohongan.
Akan tetapi, kepala pelayan sendiri tidak terlalu memercayai apa yang Cassius ucapkan, terbukti dari kerutan di dahinya. "Ah, apakah Pangeran Ryle berkata demikian? Jika ya, sebutkan saja apa barang tersebut, Yang Mulia, biarkan saya yang mengambilkannya untuk Anda."
Cassius melunturkan kelembutan dalam sorotnya. "Kamu tidak memercayai sang putra mahkota?"
Kala gelarnya disebutkan, kepala pelayan langsung membungkukkan tubuhnya. "Mana mungkin saya tidak memercayai Anda yang agung ini. Kalau begitu, biar saya antar menuju ruangan kerja Pangeran Ryle."
Cassius mengangkat tangannya. "Tidak perlu, aku bisa pergi ke sana sendiri. Lagipula, aku sudah tahu di mana letak ruang kerjanya."
"Yang Mulia, Anda adalah seorang tamu di sini, mana mungkin saya meninggalkan Anda sendirian."
Cassius tersenyum lembut. "Aku memang tamu, tetapi aku adalah penguasa istana ini di masa depan."
Kepala pelayan lagi-lagi tersentak, mundur satu langkah, lalu pamit undur diri.
Cassius sendiri tersenyum menyegarkan. Jadi, seperti ini rasanya memiliki kekuasaan yang dapat mengatur banyak nyawa di atas telapak tangannya? Tidak terlalu buruk, tidak, malahan perasaan terbaik yang pernah Cassius rasakan.
Menjadi seorang putra mahkota yang tembus pandang membuat Cassius tidak pernah dihormati secara tulus, tetapi setelah Cassius meraih pengaruhnya sendiri atas jasa yang telah dilakukannya, namanya naik dan akhirnya diagungkan sebagai seorang putra mahkota.
Cassius kini tak hanya merasa senang, tetapi juga rakus akan kuasa.
Cassius melangkahkan kedua kakinya di lorong raksasa. Istana mewah sang pangeran yang tak berbeda jauh dengan istana yang ditinggalinya, memiliki tema dinding klasik berwarna merah yang memanjakan mata, lampu gantung megah setiap beberapa meter sekali, pilar raksasa, serta karpet merah yang disulam emas di sepanjang lorongnya. Begitu megahnya, begitu mewahnya, hingga Cassius berpikir bahwa bukankah hal ini saja sudah cukup bagi Ryle? Lantas, mengapa adik tirinya itu menginginkan hal yang lebih seperti takhta? Menginginkan apa yang seharusnya menjadi milik Cassius?
Bukankah sudah cukup bagi Ryle dengan mendapatkan pengaruhnya sendiri di saat Ryle masih kanak-kanak? Bahkan mengalahkan Cassius jika menyangkut kelas sosial. Semua orang juga menghargai Ryle, semua orang mengagungkan namanya, menyoraki namanya, memuja namanya. Bukankah semuanya sudah cukup? Lantas, mengapa Ryle terus bergerak maju, membuat jarak di antara Ryle dan Cassius semakin memanjang? Meninggalkan Cassius sendirian di petak langkahnya yang rapuh, tak tahu mesti bagaimana lagi, tak tahu mesti seberjuang apa lagi untuk mati-matian menyejajarkan langkah keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
END | Not Your Typical Protagonist
Historical Fiction"Ketika asa seumur hidup yang dilalui lewat jalur iblis rupanya hanyalah tipuan manis." Putra Mahkota Cassius Embrose menghadapi teror dari serangkaian pembunuhan misterius yang mengguncang kerajaannya. Untuk memecahkan kasus ini, Cassius bekerja sa...