11

465 86 13
                                    

Situasi ruang tamu di kediaman Caelan terasa begitu canggung. Meski sebenarnya, hanya satu pihak saja yang merasakan kecanggungan yang semakin intens. Sementara itu, di pihak Cassius sendiri, dia begitu tenang. Atau laki-laki itu hanya begitu terampil menyembunyikan keresahan yang tak perlu.

Lucilius Caelan duduk di hadapan Cassius Embrose. Seharusnya, Lucilius berada di pihak Ryle saat ini, yaitu mendukung Ryle atas takhta, sehingga apa pun yang Lucilius hendak katakan pada Cassius ke depannya, dia perlu berhati-hati.

"Yang Mulia." Lucilius memecah sunyi di dalam ruangan beraroma manis dari kue kering yang baru dipanggang. "Sekali lagi, terima kasih telah memercayai Caelan untuk tugas penyerangan sebuah pelelangan budak. Saya merasa senang karena Anda memilih kekuatan militer saya ketimbang militer Salvador."

Cassius tersenyum lembut, nyaris seperti seorang malaikat yang turun ke bumi, begitu memesonaa dan begitu cantik. "Tuan Duke, aku juga harus berterima kasih padamu karena kamu sudah membantuku. Entah apa yang harus aku lakukan sebagai balas budi padamu."

Cassius harus menghadapi Lucilius sendirian tanpa Nyvene di belakangnya. Ada alasan tertentu mengapa Nyvene berdiri di balik pintu dibandingkan berada di belakang Cassius. Sebab, Nyvene berasal dari keluarga ksatria, begitu pula Caelan. Cassius tidak ingin ada bentrokan di antara keduanya.

"Sama sekali bukan masalah, Yang Mulia. Sudah sepantasnya bagi Caelan untuk membantu pekerjaan mulia Anda."

Cassius menyesap tehnya, merasakan kehangatan mengalir di kerongkongannya. Harumnya daun teh pula membantu napas yang ditarik menjadi stabil.

"Bagaimana bisa Anda mengetahui terdapat pelelangan budak di daerah kumuh, Yang Mulia? Sebagai penjaga Kerajaan Embrose, saya merasa malu karena tidak mengetahui ada tempat terkutuk seperti itu."

"Anggap saja aku memiliki beberapa informasi rahasia di sekelilingku," kata Cassius sambil terkekeh kecil. "Dan juga, aku merasa beruntung karena bisa menyelamatkan anak-anak yang dijadikan budak."

"Anda bahkan mendirikan panti asuhan untuk mereka. Anda sangatlah mulia."

Tepat setelah matahari terbenam dan kembali terbit, berita mengenai Cassius yang menyerang tempat pelelangan budak langsung menyebar di ibu kota, tak butuh waktu lama hingga daerah di sekitarnya ikut mengetahui informasi tersebut. Cassius saat ini tengah diagungkan namanya karena telah melakukan pekerjaan yang begitu mulia. Namun tak ayal, terdapat kontra yang juga mengudara, mengenai betapa seharusnya Cassius memperbaiki pertumbuhan ekonomi daerah dibandingkan harus menyelamatkan beberapa budak. Kembali lagi pada persepsi orang-orang, Cassius dapat menyebarkan pengaruh dan cerita baik mengenai dirinya, sehingga dapat menyelamatkan martabatnya dan mengambil satu langkah menuju takhtanya.

"Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja, bukan, Tuan Duke? Jadi, aku akan membangun panti asuhan, sebaliknya anak-anak tersebut ditempatkan di panti asuhan yang berbeda untuk sementara."

"Mereka pasti akan mendapatkan kehidupan yang mereka inginkan, Yang Mulia."

"Aku harap begitu. Sebab, aku tahu rasanya mendambakan kebebasan." Cassius lantas menolehkan kepalanya, menatap panorama di luar jendela yang asri. Warna hijau memenuhi visi, tak hanya itu, beberapa jenis bunga ditanam untuk mempercantik.

Lucilius mengangkat sebelah alis. Kedua mata gelapnya menelisik sosok Cassius yang duduk dengan elegan, lalu pandangannya menyapu bibir Cassius yang membentuk senyuman kecil, tetapi sendu.

Cassius kembali mengalihkan pandangannya pada Lucilius, lalu berkata dengan lirih, "Kamu tahu sendiri Tuan Lucilius, pada saat aku kecil, betapa kehidupanku dicengkeram oleh tangan ibuku."

Lucilius dan mantan ratu memiliki usia yang sama, bahkan begitu dekat pada masanya, sehingga seharusnya Lucilius bisa mengetahui kehidupan masa lalu Cassius.

END | Not Your Typical Protagonist Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang