"Cassius tak layak menjadi seorang putra mahkota, Russell."
Russell mengerutkan dahinya. "Cassidy, bukankah Cassius adalah putra yang kamu banggakan? Mengapa tiba-tiba mengatakan bahwa Cassius tidak layak menjadi seorang putra mahkota?"
Cassidy hanya menenggelamkan wajahnya di dada bidang Russell, mencoba untuk mencari ketenangan di sana. Napas Cassidy patah-patah, seakan rasa cemas memonopoli tubuhnya hingga hanya ada rasa pedih yang tertinggal.
"Cassius hanya akan mengecewakan orang-orang di sekitarnya. Dia tak layak menjadi seorang putra mahkota."
"Alasannya, Cassidy. Kamu harus mengatakan alasannya agar aku tahu apa yang terjadi," ujar Russell dengan lembut, enggan menyakiti hati istrinya apabila dia menaikkan nada suaranya.
"Russell, angkatlah Ryle sebagai pangeran kedua, biarkan dia merebut gelar putra mahkota dari Cassius."
"Cassidy," lirih Russell karena Cassidy hanya mengatakan hal-hal baru tanpa mengungkapkan alasan di baliknya.
"Dengarkan permintaanku, Russell. Meskipun pada akhirnya Ryle tak bisa mendapatkan gelar putra mahkota, jangan biarkan Cassius menjadi raja. Kumohon. Dia tak akan layak, dia hanya akan menghancurkan segalanya, dia tidak akan bisa menjadi putra mahkota, kehadirannya hanyalah hal yang mengecewakan."
Jeda lama sekali, hingga hanya terdengar napas Cassidy yang patah-patah mengudara di ruang kamar.
"Baiklah," putus Russell.
Tidak ada yang tahu apabila sesosok anak laki-laki mendengarkan percakapan dari pintu kamar yang tak sepenuhnya tertutup. Anak itu berlari melintasi lorong istana, mengabaikan degup jantungnya yang memburu penuh akan derit kenyerian, mengabaikan napasnya yang habis karena kedua kaki berlari sekuat tenaga, mengabaikan sebuah tangisan yang mengisi heningnya malam.
***
"Akhirnya, Anda sudah bangun, Yang Mulia."
Kala Cassius membuka matanya, dia menoleh untuk melihat figur Nyvene secara jelas.
"Anda tidur seperti orang mati," keluh Nyvene. "Saya sudah mencoba untuk membangunkan Anda semenjak setengah jam yang lalu. Tidak biasanya bagi Anda untuk tertidur lelap seperti ini hingga sulit dibangunkan."
Cassius menegakkan tubuhnya hingga dia duduk di atas ranjang. "Maafkan aku. Kamu tahu, Nyvene, bahwa mimpi merupakan bunga tidur yang mujarab hingga sulit untuk lepas dari mereka."
Nyvene mengerutkan dahi karena Cassius mengatakan hal aneh di pagi hari pada pukul tujuh. "Apakah Anda merasa lelah? Jelas saja karena pertunangan akan dilaksanakan dua bulan dari sekarang, hingga pikiran Anda bertalu-talu, bukan? Apakah harus mengubah jadwal latihan berpedang ke hari lain, Yang Mulia?"
"Tidak. Ayo latihan, Nyvene. Kita tak bisa menunda banyak waktu jika ingin langkah menuju takhta semakin dekat."
Nyvene menatap Cassius dengan sorot khawatir, tetapi memutuskan untuk melayani Cassius dengan mandi air hangat, sarapan, dan secangkir teh sebelum mengunjungi arena latihan khusus yang hanya akan digunakan oleh keduanya.
Nyvene telah banyak mengajarkan Cassius banyak teknik berpedang, hingga Cassius bisa dikatakan sebagai mahir dalam pedang. Akan tetapi, Cassius sendiri sadar apabila seni berpedangnya tak berkembang, justru hanya terjebak di dalam titik yang sama. Meski begitu, alasannya tak diketahui oleh Cassius karena Nyvene enggan memberi tahunya.
"Nyvene." Di tengah latihan pedang, Cassius memanggil gurunya tanpa menghentikan teknik yang tengah dipelajarinya.
"Panggil aku Sir Nyvene."
KAMU SEDANG MEMBACA
END | Not Your Typical Protagonist
Historical Fiction"Ketika asa seumur hidup yang dilalui lewat jalur iblis rupanya hanyalah tipuan manis." Putra Mahkota Cassius Embrose menghadapi teror dari serangkaian pembunuhan misterius yang mengguncang kerajaannya. Untuk memecahkan kasus ini, Cassius bekerja sa...