5. Luka yang Tersembunyi

952 228 528
                                    

Setelah pulang dari sekolahnya, Gesya langsung memasuki kamarnya. Gadis itu mendekat ke arah jendela balkon kamarnya. Sinar matahari di sore hari menyengat menyinari bunga tulip putih yang Gesya simpan di dalam vas bunga.

Beberapa hari lalu saat dirinya masih di rumah sakit, Gesya menatap bunga tulip yang tergeletak di lantai. Bunga itu terlalu cantik untuk dibuang. Gesya tidak peduli lagi dengan makna bunga itu, ia hanya ingin merawatnya dengan baik sebagai tanda terima kasih kepada orang yang memberikan bunga itu dan sudah menolongnya.

"Lo salah, Kak. Bunganya nggak gue buang," gumam Gesya menatap bunga itu yang kini sudah terlihat segar. Gesya menghirup aroma bunga itu seraya tersenyum ketika akhirnya mengetahui bahwa bunga itu adalah pemberian dari Laskar.

Suara pintu terbuka membuat Gesya bergegas keluar menuju ruang tamu, berharap ibunya pulang kembali ke rumah setelah beberapa hari tidak pulang.

Wajah gembiranya luntur ketika seseorang yang memasuki rumahnya itu bukan ibunya melainkan Gala.

"Kenapa muka lo? Kok nggak suka gitu liat gue ke sini?" ucap Gala ketika melihat wajah gadis itu terlihat muram.

"Gue kira Ibu," lirihnya kecewa.

"Nyokap lo masih belum pulang?"

Gesya hanya menggeleng lemah.

Sebenarnya Gesya bisa saja mengabarinya lewat telepon agar bisa tau kabar ibunya secara langsung meski lewat panggilan suara. Namun, ponsel sang Ibu beberapa hari lalu rusak dan belum sempat diperbaiki karena kesibukannya.

"Nanti gue suruh Mama buat ngabarin Tante Anna ke kantornya. Jadi jangan dipikirin," ucap Gala penuh perhatian. Gala memberikan sebuah kotak makanan pada Gesya. "Nih! Makanan buat lo dari Mama."

"Kenapa kasih ke gue? Tante nggak jualan?"

"Jualan. Itu sengaja disisain buat lo. Takutnya lo belum makan."

Gesya menerima kotak makanan itu. "Makasih, Gal!" Gadis itu pergi dari hadapan Gala, hendak ke dapur untuk mengambil piring dan sendok agar bisa lekas makan.

"Ge, ongkirnya mana?" seru Gala jahil.

"Ongkir pala lu! Cuma tujuh langkah dari sini aja segala ongkiran. Gue bilangin lo ke Tante Intan ya kalo lo morotin gue!" ancam Gesya.

"Kang ngadu," sarkas Gala.

***
Leo dan Sean asik bermain biliar tanpa melirik sedikitpun ke arah Laskar yang kini tengah kalut dengan pikirannya.

Laskar bahkan belum menyentuh cue atau stik penyodok bola untuk bermain biliar. Laki-laki itu hanya menatap kosong ke arah Leo dan Sean yang tengah fokus bermain.

"Nggak main, Kar?" tanya Leo. Disela bermainnya ia memperhatikan Laskar sekilas. Bisa dilihat dari raut wajahnya jika laki-laki itu tampak tak baik-baik saja.

"Nggak mood," jawab Laskar.

"Kenapa lagi?" Meskipun sebenarnya Leo yang paling tak ingin tau karena sudah begitu mengenali Laskar. Akan tetapi, ia selalu merasa kasihan dengan hidup laki-laki itu yang rasanya mungkin berat untuk bisa dirasakan.

Leo berhenti dari permainannya dan menghampiri Laskar. "Bokap lo lagi?" tebaknya seolah sudah paham dengan jalan masalah hidup Laskar.

"Bukan."

Sean yang melihat Leo mengakhiri permainannya pun, ia ikut berhenti. Sean juga ikut menghampiri Laskar dan Leo yang sudah duduk di sofa tempat biliar itu.

"Bro! Ade ape nih? Kok muke lu  kek kagak berwarna gitu? Biasanya secerah matahari, sekarang gelap tanpa warna. Nampak hitam putih kek tai cicak," seru Sean diselingi gurauan.

Can I stay alive?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang