22. Mencari Alasan

325 67 86
                                    

Bunyi peluit dari mulut sang pelatih itu menggema dalam bangunan kolam renang yang berada di samping sekolah. Kolam renang yang sengaja dibangun untuk membangun aktivitas olahraga atau ekstrakulikuler di sekolah.

Sang pelatih menyuruh para muridnya untuk berkumpul dan mendengarkan arahannya di tepian kolam renang.

Kolam renang yang dihuni oleh 7 siswa laki-laki yang sudah basah dengan air kolam setelah latihan itu berbaris mendengarkan arahan pelatihnya dengan patuh.

"Olimpiade akan dilaksanakan sebentar lagi. Kalian sudah tak memiliki banyak waktu untuk berlatih. Jadi saya harap, kesempatan kali ini kalian gunakan waktu sebaik-baiknya untuk persiapan olimpiade nanti," ujar sang pelatih.

"Saya juga sudah memantau latihan kalian tadi. Dan sejauh ini sepertinya skill berenang Leo makin meningkat," pujinya melirik ke arah Leo yang baris di bagian depan.

"Makasih, Pak!"

"Terus pertahankan ya, Le. Ajari dan bantu teman yang lain juga, ya, supaya cepat meningkat kemampuan berenangnya seperti kamu."

"Siap, Pak!"

"Kalau gitu saya pamit dulu. Kalian teruskan latihannya!" pamitnya pada para siswanya. "Kalau kalian merasa kesulitan, bisa minta tolong Leo ajarkan ya!"

"Siap, Pak!" jawabnya serempak.

Barisan bubar, semuanya berhambur ke kolam renang. Sebagian lagi mengakhiri latihannya. Sama seperti Leo yang memilih tak melanjutkan berlatih.

Bukan karena pujian dari pelatihnya. Melainkan berlatih berlebihan juga tidak baik untuk kesehatannya. Tubuh Leo sudah kedinginan karena terlalu lama berenang. Ia perlu mengistirahatkan tubuhnya untuk persiapan olimpiade nanti.

"Le, ada cewek nyariin lo, tuh, di luar!" ujar salah satu teman satu klubnya.

"Cewek? Siapa?"

Leo tak pernah memiliki seorang teman perempuan yang akrab dengannya. Selama ini, bahkan Leo jarang bergaul dengan seorang perempuan. Tidak aneh jika Leo merasa kebingungan.

"Nggak tau. Keknya adik kelas."

Sepertinya Leo mulai tahu siapa orang itu saat temannya mengucapkan kata 'adik kelas'. Meski memang dikatakan tak akrab, Leo bisa menyadari bahwa hanya gadis itu yang sempat mengobrol dengannya meski sekedar menanyakan Laskar.

"Tolong bilangin suruh tunggu sebentar, ya. Gue ganti baju dulu," pinta Leo.

"Oke, Le."

Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Leo sempat menerobos temannya yang seharusnya mengantre. Leo hanya tak mau membuat gadis itu menunggunya lama.

Selesai keluar dari kamar mandi, Leo bisa melihat Gesya yang sedang duduk di kursi tepian kolam tengah menunggunya.

"Hei," sapa Leo saat sudah berada di depan gadis itu. "Sorry, ya, lama."

"Eh, nggak kok, Kak."

Leo mulai duduk di samping Gesya dengan menyisakan jarak. "Ada apa nyari gue?"

Gesya menunduk, menggenggam tangannya sedikit gugup. Apalagi ini sudah kedua kalinya ia menemui Leo untuk menanyakan soal Laskar. Gesya hanya takut Leo akan memandangnya sebagai orang aneh.

"Lo mau nanyain soal Laskar?" Sepertinya Leo cukup peka dengan kegugupan dan rasa malu Gesya yang begitu nampak jelas di raut wajahnya.

"Eh," Gesya makin malu saat kegugupannya kini kepergok oleh Leo. "I-iya, Kak."

Leo tertawa pelan. Mimik wajah Gesya mudah sekali ditebak, gadis itu benar-benar terlihat lugu. Sepertinya Gesya memang tak pernah dekat dengan laki-laki lain selain Gala. Leo bisa tahu itu dari kegugupannya saat berbicara tentang laki-laki.

Can I stay alive?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang