34. Serpihan Rasa

198 27 96
                                    

Dengan napas yang memburu, langkah kaki yang tergesa, Laskar mendobrak pintu kamarnya dengan kasar. Kamar yang biasanya tampak rapi kini berantakan.

Pandangannya tertuju pada papan kayu di dinding yang menempelkan foto polaroid seorang gadis yang disukainya. Foto-foto itu sudah hilang tak bersisa.

Kini Laskar yakin, semua yang terjadi pada dirinya di sekolah pasti berhubungan dengan Gangga. Orang itu pasti sudah melakukan sesuatu di belakangnya untuk menjatuhkannya.

Laskar menyandarkan punggungnya pada sisi ranjang. Ia mengacak rambutnya frustasi. Tak ada yang bisa ia cegah saat melawan Gangga.

Tiba-tiba bayangan Ibu Gesya, Paman Sean, dan Gesya kini berkecamuk dalam pikirannya. Laskar kalut memikirkan cara untuk mengakhiri kehidupan yang menyedihkan ini.

"Kenapa gue dilahirkan demi menjalani kehidupan yang kayak neraka ini?" Laskar mendongakkan kepala memandang atap-atap langit kamarnya dengan isi pikiran yang bergemuruh.

"Gue nggak menyangka hidup gue di dunia akan seberdosa ini. Gue nggak tau kalau kehidupan yang gue jalani dengan gigih bisa berakhir kayak gini," lirihnya susah payah menahan air mata yang sudah  berkumpul dalam kelopak matanya.

"Ma, Laskar harus gimana sekarang?" Suaranya kini mulai terdengar serak. Isaknya terdengar nyaring dalam kamarnya yang sunyi. Laskar tak berhenti meratapi nasibnya yang buruk.

Dering telepon rumah menggema dalam rumahnya yang sunyi. Tangis Laskar terhenti sejenak, dengan tubuh yang lemas ia bangkit dari posisi duduknya dan mengangkat telepon.

Baru saja Laskar mengangkat telepon, suara dari seberang telepon sudah menyahut dengan antusias.

"Halo, Bos?" Suara itu familiar di telinga Laskar, suara dari anak buah Gangga. Laskar dengan semangat menantikan apa yang diucapkan oleh anak buah Gangga padanya. Laskar harus tahu apa yang sedang direncanakan ayahnya kali ini. "Kami sudah menemukannya, Bos. Menemukan istri dan anak Bos yang menghilang."

Laskar terkejut hingga langsung menutup teleponnya. Tiba-tiba perkataan dari guru Elma beberapa minggu lalu terngiang dalam pikirannya.

"Sewaktu saya jadi klien beliau, saya nggak sengaja denger beliau teleponan sama seseorang. Nada bicaranya yang sedikit tinggi ngebuat saya jadi mendengar semua percakapannya di telepon. Bahkan di akhir sebelum telepon dimatikan, Pak Gangga bilang untuk segera mencari anak dan istrinya."

"Anak dan istri?"

Bu Elma mengangguk. "Saya sempat ingin bertanya, tapi diurungkan saat Pak Gangga natap saya dengan tatapan tajam dan menyuruh saya buat pura-pura nggak dengar itu."

"Dan maaf kalau saya sudah lancang, saya sempat liat biodata siswa kamu dan tertulis di situ bahwa kamu adalah anak dari Bapak Gangga dan Ibu Amira. Saya sempat terkejut saat tau bahwa anak dan istrinya ternyata nggak hilang."

"Saya pikir mungkin Pak Gangga memiliki keluarga yang lain. Maaf sudah berpikiran yang enggak-enggak, dan maaf sudah ikut campur. Cuma itu yang saya tau, saya permisi dulu!" (Part. 20)

Laskar menutup mulutnya syok. Ia kira Bu Elma mengarang cerita karena tidak ada bukti apapun selama ini. Tapi ternyata, semua terungkap satu-persatu.

"Jadi.. jadi bener.." Laskar kehilangan keseimbangan tubuhnya. Ia terjatuh karena kepalanya terasa pusing memikirkan semua hal yang terjadi tak terduga. "Gangga punya keluarga lain selain gue dan Mama?" Laskar bertanya-tanya penuh kebingungan.

"Si-siapa lagi anjing!" teriak Laskar emosi.

Suara mobil terparkir di garasi membuat Laskar yang kalut itu bangkit dari posisinya. Ia ingin sekali menemui sang ayah dan memukulnya hingga mati. Tapi niat itu ia urungkan kala wajah sang ibu dalam bingkai foto yang terpampang itu tersenyum.

Can I stay alive?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang