38. Jangan Menghilang

43 7 57
                                    

Amira tak berhenti menangis sejak kembalinya dari rumah. Hilangnya Laskar dan makin kasarnya tindakan Gangga pada dirinya bahkan orang lain membuat Amira merutuki dirinya dengan penyesalan.

Amira baru menyadari bahwa selama ini Gangga bukanlah manusia. Bahkan jika ia menyadari sejak lama, sudah dipastikan ia akan pergi meninggalkan pria itu dan hidup berdua bersama Laskar. Maka segala penderitaan seperti ini tak akan pernah terjadi padanya dan Laskar.

"Sus, apa saya lapor polisi saja, ya?" ujar Amira saat tak bisa berpikir untuk menemukan cara agar bisa dipertemukan kembali dengan Laskar.

"Sabar, Bu. Jangan gegabah, Nak Laskar pasti baik-baik saja kok. Percaya saja, Bu. Kita tunggu dulu ya. Kalau besok anak ibu belum jenguk ke sini, baru kita lapor polisi," ucap suster menenangkan.

Amira mungkin tak akan bisa setenang itu menghadapi hari-hari berikutnya jika belum dapat kabar baik dari anaknya. Entahlah, Amira tak kuat memikirkan kemungkinan buruk pada anaknya. Apalagi mengingat ucapan Gangga bahwa Laskar sudah mati. Amira menepisnya dengan yakin.

***
Gala sudah kabur dari kejaran Gangga. Ia menetralkan napasnya yang terengah karena berlari. Kini satu-satu cara agar ia selamat dan tak bernasib seperti Laskar adalah melarikan diri sejauh mungkin dari jangkauan Gangga.

Di saat seperti ini, Gala tak bisa berpikir jernih untuk memikirkan rencana selanjutnya. Ia ingat tentang memberi tugas pada preman itu. Gala akan mempercayai hasilnya dan menunggu untuk bertindak.

Saat ini, yang Gala pikirkan hanyalah keselamatan ibunya terlebih dahulu. Ia merasa bersalah sudah meninggalkannya di rumah sendirian tanpa ingin mendengar penjelasannya terlebih dahulu.

Padahal jika hanya mendengar mungkin Gala hanya sekedar mengetahuinya. Berbeda dengan jawaban yang ia cari selama ini adalah kebenaran paling menyakitkan yang ia ketahui.

Gala sudah tiba di rumahnya. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, laki-laki itu langsung menerobos masuk rumahnya dengan tergesa. Ia tak mau Gangga mengikutinya dari belakang dan menangkapnya bersama ibunya dan menyiksanya seperti yang dilakukannya pada Laskar dan ibunya.

Intan yang terbaring lemah di sofa seraya menunggu kedatangan Gala itu terkejut kala pintu terbuka lebar. Sorot matanya tertuju pada sosok anak laki-laki yang selama ini dinantinya.

"Gala?" pekik Intan. Ia mendekat menghampiri sang anak dengan antusias. "Mama nungguin kamu seharian, Gal," ucapnya seraya memeluk anaknya dengan penuh kekhawatiran.

"Maafin Gala, Ma."

"Mama tau kamu kecewa, Mama siap jelasin semuanya ke kamu, Gal. Mama ngelakuin ini karena tau kamu bakal begini."

Gala menepuk punggung sang ibu. "Iya, Gala tau. Gala tau semuanya. Maka dari itu, ayo kita pergi dari rumah ini, Ma."

Intan sang ibu merenggangkan pelukannya. Ia sedikit mendongak menatap anaknya. "Hah? Kenapa, Gal? Apa terjadi sesuatu? Kenapa kita harus pergi? Emangnya ada apa?"

"Nanti Gala jelasin. Pokoknya kita harus pergi dari rumah ini, ya." Gala melepas pelukan ibunya. Ia berjalan ke arah kamar, dan mengambil koper untuk memasukkan beberapa pakaian agar bisa dibawanya.

Intan masih menatap Gala penuh kebingungan. Kemudian ia mengikuti Gala untuk membantu. Mungkin saja Gala memiliki alasan, Intan hanya perlu menurutinya untuk tahu alasan sebenarnya.

Intan dan Gala sudah selesai berkemas. Gala mendorong koper dan menuntun ibunya agar cepat keluar dari rumah. Namun sampai di ambang pintu, Intan mencegahnya.

"Gal, Gege gimana? Maksudnya kalau dia nyariin nanti gimana? Tadi pagi, Mama bilang ke Gege kalau kamu nggak pulang. Takutnya dia masih nyariin kamu," ujar Intan merasa bersalah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Can I stay alive?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang