Beberapa jepretan foto yang sudah dicetak dalam bentuk polaroid berjejer rapi di dinding kamar Laskar. Foto-foto Gesya yang Laskar ambil dari jepretan kameranya sendiri menghiasi kamarnya yang sunyi.
Laskar memotret momen saat Gesya tengah asik dengan dunianya. Sebagai orang yang hobi mengambil gambar, sudah dipastikan bahwa hasil potretnya akan terlihat aesthetic. Apalagi, Laskar pintar memotret Gesya dengan berbagai angle.
"Untuk mempercayai lo, gue perlu tau siapa lo," gumam Laskar sembari memandangi foto Gesya. "Bisa-bisanya lo bilang begitu seolah lo bener-bener pengen kenal gue lebih dalam." Laskar tersenyum getir.
"Dari awal, lo nggak pernah liat gue sedetik pun, Ge. Apa yang ngebuat lo penasaran tentang gue? Apa yang pengen lo tau dari gue?" Laskar berkali-kali berbicara pada foto Gesya. Seolah tengah berdialog dengan orangnya. Karena Laskar tak mungkin ada keberanian untuk menjawab perkataan itu setelah dibuat gugup oleh Gesya.
Ketukan pintu dari luar kamarnya mampu memalingkan wajahnya ke belakang. Dengan segera Laskar membuka pintu dan menemui orang yang sudah diduga adalah ibunya.
"Ma," Laskar menutup kembali pintu kamarnya dengan rapat. "Ada apa?" tanya Laskar.
"Kok kamu nggak pernah ngebolehin Mama masuk ke kamar kamu? Dikunci terus. Emang ada apaan di dalem? Kamu nyembunyiin rahasia, ya?" tebak Amira.
Sedari dulu, Laskar tak pernah membiarkan seseorang masuk ke kamarnya tak terkecuali sang ibu. Laskar hanya menganggap kamar adalah satu-satunya tempat persembunyiannya untuk menuangkan segala rasa keluh kesah, lelah, dan sakit.
"Nggak, Ma. Laskar lagi males beresin kamar, jadi berantakan. Kalo Mama masuk nanti malah ngomelin Laskar saking kotornya," alibi Laskar.
"Masa sih? Sekotor apa? Coba liat!" Amira hendak membuka knop pintu kamar Laskar. Namun Laskar mencegahnya.
"Suatu saat Mama bakal tau dan syok kalo masuk ke kamar Laskar. Nanti aja ya, Ma?" pinta Laskar memelas.
Amira hanya menghela nafas sabar. Lagi pula, ia tak bisa memaksa jika memang itu hal yang privasi baginya. "Iya. Mama ke sini tadinya mau ngajak kamu makan di luar. Sekalian menghirup udara segar, Mama bosen di rumah terus," ujarnya.
"Makan di mana, Ma?" tanya Laskar.
"Kamu maunya makan apa?"
"Terserah Mama. Apapun yang Mama makan pasti Laskar ikut makan."
"Kayak cewek aja jawabnya terserah," ledek Amira.
"Yakan maksud Laskar bebas, Ma. Makan di warteg pun Laskar hayuk. Yang penting kenyang."
"Soto ayam Mang Kadir, mau?"
Laskar tersenyum kegirangan. "Tuh, Mama paling tau apa yang Laskar suka. Sok-sokan nawarin segala."
Amira terkekeh pelan mendengar itu. Rasanya senang sekali bisa menggoda Laskar seperti itu. Sudah lama tak melihat Laskar tersenyum lebar semenjak dirinya di rumah sakit.
Laskar mendorong kursi roda ibunya untuk segera keluar menuju garasi mengambil mobilnya. Sengaja memakai mobil agar lebih mudah membawa sang ibu bersamanya.
***
Suara dering ponsel di atas nakas terdengar nyaring. Gesya yang malas gerak dari tempat tidurnya mengambilnya dengan tangannya yang pendek. Gesya menempelkan ponsel pada telinganya. "Halo?""Ge, lo lagi ngapain?" Suara yang familiar, jelas Gesya bisa mengenalinya tanpa melihat kontak di layar ponselnya. Suara yang tak pernah absen ia dengar dalam sehari-hari. "Coba buka jendela balkon kamar lo," itu adalah suara Gala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I stay alive?
RandomGimana lo akan menjelaskan tentang kehidupan yang sempurna itu? Terlahir dari keluarga yang kaya? Memiliki orang tua yang utuh? Cinta sejati? Ketenangan? Atau berumur panjang? Hidup gue dinilai dengan pandangan mereka yang melihat gue sebelah mata...