28. Hidup Dalam Rasa Bersalah

251 51 88
                                    

Motor ninja yang dikendarainya kini sudah tiba di depan apartemen sang ayah. Apartemen itu sudah ramai dipenuhi oleh berbagai orang yang tengah penasaran dengan apa yang sudah terjadi.

Netranya menangkap sebuah mobil polisi terparkir, hingga suara sirine ambulance yang memecahkan keramaian suasana apartemen. Bahkan Laskar bisa melihat beberapa reporter tengah melakukan siaran langsung untuk menginfokan terkait tragedi yang terjadi di apartemen Bassura.

Laskar hendak ikut masuk ke dalam apartemen untuk memastikan bahwa wanita yang tewas dalam berita itu bukanlah Anna, melainkan orang lain. Ia hanya bisa berdoa dan berharap agar apa yang menggelayuti pikirannya selama ini hanyalah ketakutan dan kekhawatiran semata.

Nafasnya menggebu, pikirannya kalut, ia berjalan di lorong koridor apartemen dengan kaki yang sudah gemetar. Langkahnya kini terhenti, pandangannya tertuju pada sebuah flat shoes berwarna salem itu dalam genggaman aparat polisi yang sedang mengevakuasi tempat kejadian perkara.

Flat shoes itu, Laskar mengenalinya. Sepatu yang dipakai oleh Anna beberapa jam yang lalu saat dirinya hendak menawarkan diri untuk mengantarkannya pulang.

Kini tubuhnya melemas, punggungnya merosot saat ia mencoba untuk bersender pada dinding koridor apartemen. Hatinya diselimuti rasa penyesalan. Sakit rasanya mengingat wajah wanita itu saat mengetahui bahwa ia adalah ibu dari gadis yang ia sukai.

Bagaimana kehidupannya setelah ini? Hidupnya terus dipenuhi oleh bayang-bayang perasaan bersalah. Mungkin akan terus tertanam dalam hatinya, hingga terasa berat untuk bisa hidup dengan damai.

"Apa gue nggak boleh hidup tenang sedikit aja?" lirih Laskar dengan mata yang sudah mulai berair. Ia menjedotkan kepalanya pada dinding koridor berkali-kali.

***
Setelah Gala mengetahui perubahan pada diri Gesya, laki-laki itu sedikit menghindarinya. Hubungannya dengan Gesya mulai renggang. Yang biasanya ia tak henti berkunjung setiap malam untuk sekedar menemani gadis itu sampai tertidur, kini Gala mencoba menghilangkan kebiasaannya.

Sudah beberapa hari mereka tak berkomunikasi. Gala benar-benar marah dan kecewa saat gadis itu mulai tak membutuhkannya lagi. Ia sadar diri dan menyingkir. Tak mau membuat perasaannya larut tenggelam menyukainya.

"Gal," panggil sang Ibu. "Kamu kok jadi jarang ke rumah Gege, sih? Ini udah malem. Biasanya kamu tiap hari temenin dia dulu sampe tidur. Kamu lagi berantem, ya?" tebak sang Ibu dengan menenteng rantang makanan itu menghampiri anaknya yang tengah sibuk dengan game dalam ponselnya.

"Nggak kok, Ma. Gala lagi capek aja," jawabnya tanpa menoleh. "Gege juga lagi sibuk belajar buat ujian. Nggak mau diganggu dulu," sambungnya.

"Bener begitu?" ujar sang Ibu curiga.

"Iya."

Dari wajahnya, Intan bisa melihat bahwa itu wajah kesedihan Gala yang sering kali tidak mau ditunjukan. Wajah yang sering kali menahan berbagai rasa amarahnya. Sorot matanya bahkan enggan menunjukkan segala rasa yang dialaminya.

"Mama boleh minta tolong, Gal?" pinta Intan. Tanpa meminta persetujuan Gala, Intan menyodorkan rantang makanan di depan anaknya. "Tolong anterin makanan ini ke Gege, ya, Gal! Kasian dia sendirian di rumah takutnya belum makan. Sekalian temenin dia sampe ibunya dateng, ya?"

Rantang berisi makanan itu menghalangi penglihatannya pada ponsel di depannya. Ia tak bisa menolak jika itu permintaan sang Ibu.

Gala menghela nafas dan menerima rantang itu lekas memberikannya pada Gesya. Untuk kali ini, ia akan mencoba memaafkan segala rasa kecewa dan kesal dirinya terhadap Gesya. Gala mencoba mengendalikan perasaannya.

Can I stay alive?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang