8. Tempat Pulang

748 190 456
                                    

Laskar membuka pintu rumahnya, terlihat sang Ibu yang duduk di kursi roda tengah menunggu sesuatu. Laskar mendekat menghampirinya dan berlutut mencium punggung tangan sang Ibu.

Amira, Ibunda Laskar lumpuh dari beberapa bulan lalu. Bahkan saat dulu, ia sering sakit-sakitan. Hingga suatu hari di mana keluarganya mengalami masalah dan membuat Amira stress hingga stroke.

Belum lama setelah itu, Amira mengalami koma. Kejadian itu sudah pasti membuat Laskar terpuruk begitu dalam. Laskar mendadak berubah saat dirinya tahu bahwa penyebab yang membuat Ibunya menderita adalah Ayahnya sendiri.

"Ma, kenapa nggak dengerin Laskar? Kenapa nggak nungguin Laskar pulang? Laskar kan bisa jemput Mama ke rumah sakit," lirihnya.

"Mama nggak mau ganggu kamu di sekolah. Jadi, Mama minta Papa kamu buat jemput."

"Terus Papa di mana?"

"Tadi ke ruangannya. Katanya ada urusan kantor sebentar." Amira kembali teringat sesuatu. "Oh iya, tadi Mama pesen makanan. Udah sampe belum, ya? Coba Mama cek ke depan dulu!" Amira hendak mendorong kursi rodanya untuk keluar.

"Ini, Ma." Laskar memamerkan apa yang sedari tadi berada dalam genggamannya. "Mama kenapa harus pesen makanan di Bu Intan lagi?" tanyanya.

"Masakan Bu Intan enak, Kar. Mama belum bisa masak dengan tubuh Mama yang kayak gini. Mama nggak bisa bergerak bebas. Mama lumpuh. Mama nggak bisa masakin kamu makanan yang enak," lirih Amira sedih.

Dulu sewaktu Amira belum lumpuh dan bisa bergerak bebas, ia tak absen untuk memasak sendiri karena Gangga melarangnya untuk mencari asisten rumah tangga. Karena menurut Gangga, pekerjaan itu hanya membuang-buang uangnya saja. Selama ia memiliki istri, untuk apa asisten rumah tangga? Toh, istri juga bisa melayani dan mengerjakan apapun untuknya lebih dari asisten rumah tangga.

"Ma," Laskar menggenggam tangan sang Ibu. "Nggak perlu jadi ibu yang sempurna. Jadi ibu yang selalu ada buat Laskar aja itu sudah lebih dari cukup, Ma. Laskar cuma butuh Mama setiap saat."

Amira meraih puncak kepala Laskar. Air matanya kembali menetes. "Makasih ya, Nak. Kamu tumbuh menjadi anak baik."

"Sekarang Mama makan, ya? Biar Laskar suapin." Laskar membuka kotak makanan itu.

"Kamu makan sendiri aja. Kamu kan baru pulang, pasti capek belum makan."

"Laskar udah makan siang tadi di kantin. Jadi belum laper banget. Tapi nanti dimakan kok setelah nyuapin Mama." Laskar mengambil sendok dan menyuapi Ibunya dengan pelan. Senyumnya kembali mengembang.

Sang Ibu ikut tersenyum, lalu menerima suapan dari Laskar. "Makasih ya, Nak!" Tangannya kembali ia ulurkan untuk mengelus puncak kepala Laskar. Dalam hatinya sangat bangga memiliki anak yang berbakti seperti Laskar.

***
Motor Gala baru saja memasuki halaman rumahnya. Pemandangan dua wanita paruh baya yang tengah berbincang membuat Gesya bergegas turun dari motor Gala dan berlari kecil ke arah Ibunya.

"Ibu?" pekik Gesya kesenangan saat melihat Ibunya kini sudah kembali dari kesibukannya. "Bu, Gege kangen sama Ibu. Ibu kenapa nggak pulang berhari-hari? Gege kesepian di rumah," keluhnya seraya memeluk Ibunya dengan erat.

Sang Ibu tersenyum hambar. "Maaf, ya, Ge. Ibu banyak kerjaan di kantor. Ibu nggak sempet pulang karena keseringan lembur."

Gesya merenggangkan pelukannya. "Terus selama ini Ibu tidur di mana? Di kantor?"

"Ada apertemen deket kantor. Jadi Ibu nggak perlu bolak-balik lagi."

"Kalo aja handphone Ibu nggak rusak. Mungkin kita udah teleponan atau video-call. Jadi Gege nggak khawatir sama Ibu."

Can I stay alive?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang