Pagi ini, Dira terbangun dengan perasaan tak nyaman. Perutnya terasa tak nyaman dan ia merasa mual. Ia bangkit dengan cepat lalu berlari kecil ke belakang. Ryan terbangun karena kaget. Ia terperanjat melihat sang istri berlari. Pria itu mengejarnya.
"Kamu kenapa?"
Dira memuntahkan isi perutnya. Rasanya benar-benar tak nyaman. Ryan memijat pundak wanita itu dengan sabar."Sepertinya kamu mengalami morning sickness."
"Apa itu?"
"Hmm apa, ya." Ryan menggaruk kepalanya. Ia juga tidak mengerti kenapa ia mengatakan istilah tersebut,"ya, seperti yang kamu rasakan saat ini."
"Ah, iya. Dokter bilang, aku juga akan merasakan hal seperti ini." Dìra menyeka mulutnya.
"Sudah selesai?"
Dira mengangguk."Sepertinya sudah."
Ryan membopong Dira dan membawanya ke kamar."Istirahat dulu. Aku buatkan teh hangat. Kamu mau jajanan pàsar laģi?"
Dira berbaring dengan lemah."Iya. Kamu harus seperti ini setiap hari. Maafkan aku, ya? Harusnya aku yang menyiapkan segalanya untukmu."
Ryan menggenggam tangan Dira dan mengecupnya."Aķu tidak merasa sulit melakukan ini semua. Jangan merasa bersalah atau sungkan. Ini adalah tugas dan kewajibanku sebagai suami. Aku harus menjagamu."
"Kamu berjanji akan selalu bersamaku, kan?"
Ryan mengangguk."Iya. Ya sudah aku pergi dulu, ya. Supaya kamu cepat bisa makan. Aku akan kembali dengan cepat."
"Hati-hati,"balas Dira. Setiap kali suaminya pergi, ia selalu merasa cemas. Takut suaminya akan hilang atau ada yang mengenalinya. Ia lebih takut lagi saat ingatan lelaki itu akan datang perlahan.
Setengah jam kemudian, Ryan kembali. Ia masih mengenakan sepeda motor yang akhirnya boleh dipergunakan lelaki itu, selama ia masih bekerja di sana. Dengan begitu, ia bisa tiba lebih cepat.
"Aku pulang." Ryan menemui istrinua dengan semringah,"kamu terlihat udah baikan?"
"Iya."
"Sayang, tadi aku ketemu Bapak Babinsa di Kios Pak Mahmud."
"Oh,ya, lalu ada apa?" Dira mengubah posisinya.
Yang Dira tahu, Babinsa adalah Polisi yang bertugas di Desa. Entah ia benar atau salah. Intinya seperti itu."Katanya mereka mau berkunjung ke sini bersama Bidan Desa. Ini adalah kunjungan rutin mereka pada Ibu-ibu hamil yang berada di wilayah terisolir,"jelas Ryan. Ia hanya menjelaskan kembali apa yang dijelaskan oleh Bapak Babinsa.
"Apa yang harus kita siapkan?"
"Tidak ada. Mereka hanya akan memeriksa kehamilanmu. Lalu, diberi penyuluhan, obat, dan vitamin. Itu saja. Mereka akan datang jàm sepuluh."
"Baiklah,"kata Dira,"lalu, aku sendirian saat mereka datang?"
Ryan mengusap kepala Dira dan tersenyum."Ah, kamu takut, ya. Aku akan izin sebentar. Aku akan mendampingimu."
"Itu lebih bagus,"sahut Dira.
Lalu, pukul sepuluh lebih lima belas menit mereka datang. Dira diperiksa dan ditanya-tanya perihal kehamilannya. Lalu ia diberikan buku berwarna pink, serta vitamin yang nantinya akan mendukung kebutuhan Ibu dan bayi yang masih di dalam kandungan.
"Bapak Ryan~"panggil Pak Babinsa pelan.
"Ya, Pak?"
"Pak, kami meminta izin untuk dokumentasi, ya. Sebagai laporan kegiatan kami hari ini ke atasan,"jelasnya dengan sangat sopan.
"Silakan, Pak. Terima kasih sudah jauh-jauh datang memeriksa istri saya."
"Ini memang sudah tugas kami, Pak. Bapak, boleh berdiri di dekat Ibu? Saya akan mengambil gambar."
Ryan berdiri di dekat Dira yang sedang diberi penyuluhan. Semua terlihat alami. Gambar mereka semua berhasil diambil sebagai laporan kegiatan. Setelah itu mereka pamit pulang.
"Apa yang Ibu Bidan katakan padamu?"
"Aku harus rajin minum vitamin dan makan makanan bergizi. Lalu, disarankan pergi ke dokter kandungan walau hanya sekali saat usia kehamilan sudah sedikit besar. Tapi, lokasinya jauh sekali, kan?" Raut wajah Dira menunjukkan kekhawatiran.
"Jangan dipikirkan. Kalau kamu sudah sehat, kita akan periksa ke dokter. Katanya di dokter kandungan kita bisa tahu jenis kelaminnya loh."
"Oh ya?" Mata Dira berbinar,"kalau begitu kita harus pergi walau hanya sekali."
"Iya. Ya sudah, ayo kembali ke kamar dan istirahat." Ryan membawa vitamin dan buku ke dalam rumah. Dira berjalan dengan pelan mengikuti suaminya.
Dira kembali berbaring sesuai dengan permintaan sang suami. Lalu, ia menatap sang suami."Bisakah kamu libur bekerja hari ini?"tanya Dira dengan tatapan memohon.
Ryan mematung, tampaknya sang istri sedang ingin ditemani olehnya. Selama ini ia memang sibuk bekerja, bahkan ketika Dira dinyatakan hamil.harus bekerja keras untuk mendapatkan uang lebih. Pak Mahmud mengatakan bahwa biaya persalinan itu cukup mahal. Apa lagi mereka tidak memiliki asuransi kesehatan. Selain itu, mereka harus membeli perlengkapan bayi. Biaya kebutuhan anak juga tidak sedikit. Jadi, Ryan harus memiliki tabungan untuk itu semua. Terkadang ia harus bekerja tambahan demi menambah penghasilan.
Ryan menarik napas panjang. Ia duduk di sisi tempat tidur. "Baiklah, tetapi, untuk hari ini saja, ya? Aku harus bekerja dan menabung. Kita harus mempersiapkan kebutuhan anak. Kamu mengerti, kan?"
"Mengerti." Dira memeluk sang suami dan menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam.
Aroma tubuh pasangan adalah obat termanjur saat ini. Rasa muàlnya hilang seketika.Dira hanya butuh bersantai di kasur dan memeluk sang suami sepanjang hari. Ia berharap bisa melakukan hal ini setiap hari. Namun, suaminya adalah pekerja keras. Ia tak bisa membiarkan keinginannya itu merusak apa yang sudah ia bangun dengan susah payàh."Kamu ingin anak lelaki atau perempuan?"
"Hmm entahlah, aku tidak pernah berpikir harus laki-laki atau perempuan. Yang aku tahu, itu adalah anakku. Aku akan memperlakukannya dengan baik, seperti Raja dan Ratu." Ryan tersenyum dan mulai membayangķan betapa menyenangkannya memiliki anak. Ketika ia lelah bekerja dan pulang, anak-anaknya akan menyambut dengan sukacita.
"Kamu memang suami dan Ayah yang luar biasa. Betapa beruntungnya aku memilikimu,"ucap Dira sembari terus memeluk suaminya.
"Apakah aku seperti itu?"
"Hmm." Dira bergumam,"jangan pernah berubah, jangan pernah~mengingkari apa pun yang pernah kau ungkapkan padaku. Aku akan mengejarmu kalau kamu mengingkarinya."
Ryan tertawa dan membalas pelukan Dira."Memangnya aku akan pergi ke mana sampao kamu harus mengejarku. Mana mungkin aku pergi sementara di sini ada belahan jiwaku,
"Semakin kamu berkata seperti itu, semakin aku takut kehilanganmu."
"Sekarang katakan, apa yang membuatmu sangat takut kehilangan aku? Kau sampai mengataknnya berkali-kali." Jujur saja Ryan sempat heran karena Dira mengatakannya berkali-kali. Satu atau dua kali, ia merasa biasa saja. Ketiga dan keempat, ia merasa memakluminya. Namun, ini sudah puluhan atau ratusan kali ia dengar semenjak mereka menikah.
Dira mengerucutkan bibirnya."Memangnya aku tak boleh mengatakan itu? Aku akan mengatakannya jutaan kali. Tidak peduli kau bosan mendengarnya."
Ryan tertawa geli."Ah, begitu~kalau begitu aku pun tak akan bosan mengatakan bahwa aku akan selalu di sisimu."
Keduanya berpelukan bahagia. Dira bersumpah akan mempertahankan rumah tanganya. Tak peduli halangan dan rintangan yang nantinya akan datang . Ia akan tetap bertahan.
Keduanya memang tengah berbahagia. Di tempat lain, gambar yang diambil tadi telah sampai pada atasan. Lalu, ada yang mengenali sosok Ryan. Ryan adalah pria yang mirip dengan orang yang sedang dalam pencarian. Kabar itu segera disebarkan kepada keluarga.
💜💜💜
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI RAHASIA
RomanceSatu hari sebelum hari pernikahan, Ryan meninggalkan surat pembatalan penikahan untuk Dira. Merasa marah dan frustrasi, Dira ingin bunuh diri. Karena jika pernikahan ini gagal, ia akan dinikahkan paksa dengan Duda tua di Kampungnya. Saat ingin bunuh...