16

1.3K 156 10
                                    


Dira duduk di teras rumah. Ia suka menikmati udara pagi. Beberapa hari ini ia sudah tak merasakan mual dan tak enak badan. Semuanya kembali normal seperti saat ia belum hamil.
Ryan muncuĺ setelah mandi pagi. Ia menemani istrinya sejenak sebelum pergi ke pasar untuk membelikan makanan.

"Bagaimana keadaan kamu pagi ini?" Ryan mengusap perut Dira.

Dira tersenyum dan memegang tangan Ryan yang bergerak memutar di perutnya."Sudah beberapa hari ini, dia sangat baik. Dia mengerti kalau Ibunya sangat kesulitan. Biar pun begitu, aku tidak apa-apa menghadapi mual setiap hari. Asalkan dia lahir dengan sehat dan selamat."

"Kamu menjaganya dengan baik. Dia pasti akan tumbuh sehat di dalam sana." Ryan tersenyum bahagia. Rasanya tak sabar menunggu delapan bulan untuk melihat anak mereka.

Suara dentingan terdengar mendekat. Ryan dan Dira menoleh bersamaan. Di tengah-tengah keheranan mereka, lalu muncullah sebuah gerobak. Seorang pria dengan topi dan handuk di lehernya mendorong gerobak.

"Pak, Bu, kuenya~" Pria itu menawarkan dagangannya.

"Wah, kenapa kebetulan sekali aku mau keluar. Ada penjual makanan datang,"kata Ryan.

"Bapak jual apa, Pak?"

"Makanan ringan seperti kue, jajanan pasar, dan nasi uduk juga ada, Pak." Pria itu membuka penutup dagangannya.

"Kenapa Bapak bisa sampai di sini? Di sini kan nggak ada rumah?"tanya Dira yang bangkit perlahan menghampiri.

"Katanya Mas Ryan tiap hari langganan jajanan pasar untuk istri. Saya tahu dari Pak Ojak, yang dagang di pasar. Saya juga ambil dari Pak Ojak terus saya kelilingin. Ya namanya juga rejeki kan juga harus dijemput." Pria tersebut terkekeh.

"Oh, Pak Ojak." Ryan mengangguk'angguk,"iya, sih ini memang dagangannya Pak Ojak. Lumayan kalau gitu, saya nggak perlu jauh-jauh ke pasar."

"Wah, saya beli ya, Pak." Dira sangat bersemangat karena ia sudah ingin makan.

"Saya ambil uang dulu, ya, Pak."

Dira memilih-milih makanan dengan wajah semringah.

"Sudah hamil berapa bulan, Bu?"

"Ya?" Dira mendongak,"oh hamil ya. Baru satu bulan, Pak."

"Oh, iya-iya, lagi rawan-rawannya. Nggak boleh capek-capek dan aktivitas berat. "

Dira tersenyum malu,"iya, Pak. Makanya suami saya yang terus beli makanan. Saya nggak boleh aktivitas lain."

"Betul itu. Itu adalah ciri suami yang bertanggung jawab. Sepertinya pengantin baru, ya, Bu?"

"Iya, Pak. Baru tiga bulan. Terus kita pindah ke sini karena ini adalah rumah peninggalan keluarga. Sayang sekali kalau ditelantarkan,"jelas Dira.

"Iya, Bu. Warisan itu memang harus dijaga dengan baik,"balasnya dengan ramah,"sebelumnya memang tinggal di mana?"

"Di Desa C kecamatan T, Pak."

"Loh, ya jauh ya pindah ke sini."

Dira tersenyum,"iya, Pak. Tapi nggak kerasa kan ada suami."

Pria itu terkekeh."Betul, Bu, waktu akan terasa singkat kalau kita bersama orang tersayang."

"Ya begitulah, Pak. Oh ya, ini udah, Pak, berapa harganya?" Dira sudah selesai memilih.

"Totalnya lima belas ribu, Bu."

Ryan kembali dengan membawa uang dan membayarkannya pada Pria itu."Kamu masuk duluan,ya,"kata Ryan yang kemudian diiyakan okeh Dira.

"Bapak mau keliling ke mana lagi?" Ryan bertanya pada penjual kue.

"Ya keliling kampung sini, Pak. Saya juga baru beberapa hari jualan."

"Kalau Bapak nggak keberatan, Bapak tiap pagi ke sini, ya. Kita mau beli,"kata Ryan yang merasa sangat terbantu dengan keberadaan pedagang tersebut.

"Oh, iya, Pak. Syukurlah kalau begitu. Saya dapat pelanggan,"katanya dengan penuh rasa syukur,"kalau begitu, besok pagi saya ke sini lagi. Saya mau keliling dulu, ya, Pak. Terima kasih dan permisi."

"Hati-hati, Pak." Ryan tersenyum lega memandang kepergian orang tersebut. Ia pun menyusul istrinya di dalam rumah.

"Ayò ikut makan,"kata Dira yang sudah menyusun makanan.

"Aku udah minta dia datang setiap pagi. Supaya aku nggak perlu ke pasar lagi."

"Iya, rasanya juga sama,berarti memang dari Pak Ojak, ya."

"Tapi, kayaknya lebih enak sih,"balas Ryan

"Ah, sama saja." Dira tak merasakan perbedaan apa pun di dalamnya.

"Oh, ya, aku sudah pertimbangkan dengan lokasi kita yang jauh dari Bidan. Gimana kalau kita sewa rumah saja di dekat sana. Maksudku, itu selama kamu hamil saja. Jadi, kalau tiba-tiba kamu ingin melahirkan, kita bisa mendapatkan fasilitas kesehatan dengan mudah."

Dira tidak mau membahas perihal kepindahan rumah. Ia tak maunkejadian serupa terulang. Ada yang mengenal Ryan karena pria itu masuk dalam daftar orang hilang. Itu sudah pasti. Keluarganya adalah keluarga kaya raya. Pasti sampai saat ìni mereka masih mencari."Di sini saja."

"Jangan begitu, kamu juga harus memikirkan keselamatan anak kita. Nanti saja, saat usia kandunganmu sudah membesar. Kita pindah dan mempersiapkan segalanya dengan matang. Jika sudah lahir, kita akan kembali ke rumah ini,"kata Ryan dengan begitu sabar membujuk Dira.

"Baiklah." Dira mengalah.

Keduanya menikmati makanan dengan hening. Sampai akhirnya matahari terbit dan Ryan bersiap-siap pergi bekerja. Namun, saat hendak pergi, mereka kedatangan tamu, yaitu Kepala Desa. Mereka sedang melakukan pendataan warga.

"Ibu, Bapak, boleh saya lihat identitasnya? Akan kami masukkan ke data penduduk."

"Identitas seperti apa, Pak? Kami belum membuat kartu keluarga karena kami baru menikah,"jawab Dira.

"Oh, kalau begitu Kartu Tanda Penduduk saja, Bu."

"A-ada, tunggu, ya." Dira ke kamar untuk mengambil idèntitasnya. Lalu menyerahkan pada Kepala Desa.

"Kalau identitas Bapak ada?"

Ryan menatap sang istri. Selama ini ia tak terpikirkan mengenai identitas diri. Ia teelalu sibuk bekerja.

"Kartunya hilang, Pak." Dira memberikan alasan yang paling logika.

"Ah begitu, ya. Secepatnya saja diurus, ya. Karena identitas itu sangat penting. Kalau begitu sekalian saja urus kartu keluarganya."

"Nanti aja, Pak, kalau anak kami sudah lahir. Jadi sekalian,"balas Dira.

"Gitu, ya. Kalau begitu sebutkan saja nama lengkap Bapak Ryan agar dicatat,"kata pria yang datang bersama kepala desa.

"Ry-Ryan~ Handoko, Pak."

"Ryan Handoko. Maaf, boleh sebutkan tempat dan tanggal lahirnya~"

Dira menelan ludahnya,"Bunga, 14 Februari 1989." Tiba-tiba saja ia merasa tak enak hati. Ia pikir tinggal teroencil seperti ini akan lepas darì pantauan. Ternyata Kepala Desa melakukan pendataan. Semoga saja mereka tidak curiga.

"Baik, Bapak Ryan dan Ibu Dira... kami sudah selesai melakukan pendataan. Mohon maaf mengganggu waktunya. Semoga Bapak dan Ibu bisa memiliki kartu keluarga secepatanya lalu Pak Ryan bisa membuat identitas baru. Jika ingin membuatnya, Bapak bisa datang ke Balai Desa. Kami akan membantu."

"Baik, Bapak Kades. Terima kasih banyak."

"Kami permisi."

Dira mengembuskan napas lega. Untunglah mereka segera pergi. Lalu, tidak ada oertanyaan atau kecurigaan di mata mereka. Iti artinya mereka memang betul-betul melakukan pendataan.

"Kamu kenapa?" Ryan mengamit lengan Dira,"aku pergi dulu, ya."

"Iya,hati-hati." Dira memeluk dan mencium suaminya. Setelah itu, Ryan pergi. Tinggallah Dira sendiri dan termenung sendirian.

💜💜💜

ISTRI RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang