Shazia mengerjap pelan saat bahunya di guncang pelan. "Ayo turun, ibu udah nunggu," Grey melepas kunci mobil dan sabuk pengamannya.
Shazia mengerjap, menatap sekitar seraya melepas sabuk pengamannya perlahan. Shazia terlihat masih ngantuk.
"Harusnya kita hadir ke perayaan selesainya shooting, untungnya mereka maklum," ujar Grey. "Ibu punya penyakit jantung, pelan-pelan ya bicaranya sama jangan bicarain sesuatu yang akan bikin ibu kaget.." lanjutnya.
Shazia mengangguk. "Tapi ibu kak Grey tahu kita menikah kontrak?" tanyanya.
Grey berdecak. "Emangnya kita nikah kontrak?" tanyanya balik.
"Ah iya! Maaf-maaf salah," ralat Shazia membuat kantuknya sirna.
"Ibu tahu kita menikah, udah berminggu-minggu minta ketemu tapi baru bisa sekarang," jawabnya lalu mulai turun dari mobil, Shazia pun sama.
Grey meraih jemari Shazia untuk dia gandeng menuju rumah sakit ternama dan mahal itu. Grey merasa tenang bisa membiayai ibunya di rumah sakit walau jujur saja sangat lelah menjadi idol.
"Kok deg-degan," lirih Shazia.
"Ibu ramah, ga usah takut," balas Grey seraya membenarkan posisi maskernya.
"Aku ga bawa apapun kak Grey, malu," Shazia menatap Grey yang terus menatap lurus ke depan itu.
"Yang ibu mau cuma hadirnya kita, bukan apa yang kita bawa, ga usah dipikirin,"
Shazia pun mengangguk dengan agak bergidik dingin. Udara malamnya terasa dingin sekali.
"Dingin, kak Grey,"
Grey menatap Shazia. "Makanya nurut sama suami itu! Disuruh pakai jaket dua malah nolak," omelnya.
"Kan mulai lagi jadi ayah!" dumel Shazia.
"Bukan jadi ayah! Ini suami lagi ngomel sama istrinya yang bandel kalau dibilangin, kalau udah gini siapa yang kedinginan? Kamukan?!"
Shazia tidak menjawab, wajahnya di tekuk bete. Menyesal dia menyuarakan apa yang sedang dia rasakan.
"Ga usah manyun gitu, jelek!"
Shazia pun melipat bibirnya seraya memalingkan wajah bete. Grey tersenyum samar melihatnya. Dasar bocah kesayangan!
Grey menggigit pelan lengan Shazia gemas lalu mendatarkan wajahnya dengan pandangan lurus seolah tidak terjadi apapun.
Sedangkan Shazia yang menjerit kaget mulai menggerutu pelan melihat Grey yang perlahan menyebalkan lagi.
***
Shazia duduk dengan senyum polos yang tidak canggung sama sekali. Apalagi respon ibu Grey terlihat ramah dan menerima.
"Kenalin, ibu namanya Dara," ujar Dara dengan senyum hangat. "Cantiknya mantu, ibu," pujinya.
"Emh, ibu lebih cantik," balas Shazia. "Aku Shazia, bu." lanjutnya.
"Ibu udah tahu, berita kalian sering ada di televisi. Cuma ibu kecewa ya kalian ga cepet ketemu sama ibu," Dara mencubit lengan Grey sebagai luapan marahnya walau pelan.
Shazia ikut mencubit. "Aku bantuin ibu," ucapnya.
Grey sontak menghindari keduanya. Kesal namun juga bahagia. Sekarang ada dua bidadari yang mewarnai hidupnya. Lelah seolah terbayarkan.
Grey semakin tidak menyesal bisa terlibat dengan Shazia hingga jalannya berubah total.
Dara melihat Shazia yang kekanakan itu dengan senyum hangat. Shazia memang masih belasan tahun tapi Dara percaya, Shazia akan bisa membahagiakan Grey yang selama hidupnya berjuang keras membantu kesembuhannya.
Dara sangat bahagia. Dia merasa tenang sekarang melihat Grey yang tidak sendirian lagi. Grey bahkan lebih bahagia semenjak ada Shazia.
"Udah, malu ada, ibu!" Grey meremas pelan jemari Shazia yang keduanya dia tahan agar berhenti.
"Ibu seneng kalau pernikahan kalian ga terpaksa karena desakan sekitar,"
Grey merangkul Shazia. "Walau masih kecil—"
"Enak aja!" Shazia memukul dada bidang Grey sekilas.
"Ck! Emang masih kecil! 20 tahun aja belum, tapi hebat kok.." ujar Grey agak ambigu. "Dia cocok jadi istri Grey, bund. Jadi ga terpaksa kok nikah sama Shazia. Dia lucu," terangnya.
"Hm, walau keliatan kayak pacaran sama adik temen kamu yang masih SMP," kekeh Dara.
"Betul sekali."
***
Web drama grup MW dan Shazia begitu banyak diminati. Jadwal yang awalnya tidak padat menjadi padat sampai semua terpaksa tidur di mobil selama perjalanan saking banyak kesana kemari.
Tidak ada main di hotel lagi. Benar-benar sibuk sampai Shazia kurus dan tidak nafsu makan seperti biasanya saking lelah.
Jumpa fans di berbagai wilayah itu tak kunjung berhenti. Shazia sampai mengeluh terus dan menangis dalam diam.
Seperti sekarang, dia terpejam menghadap jendela mobil dengan air mata mulai rembes di sudut matanya.
Shazia buru-buru menyeka. Sekuat apapun dia minta berhenti kerja atau libur sehari tetap saja ditolak agensi.
Grey melirik Shazia yang bergerak itu, perlahan mendekat, mengusap lengan Shazia. "Kenapa nangis lagi?" bisik Grey. Dia tahu Shazia menangis, gerak tangannya seperti menyeka air mata.
Grey kembali diingatkan, Shazia itu masih remaja yang terpaksa dewasa. Dewasa dalam segala hal. Harusnya Shazia masih sekolah, bukan bekerja atau bahkan menikah.
Grey mengecup lengan Shazia. "Tahan sampai akhir tahun ya? Abis itu aku izinin buat ga kerja," bisiknya.
Shazia membalik tubuhnya, membenamkan wajahnya di dada Grey yang kini merengkuh dan menenangkannya.
"Ayah, bunda sebentar lagi pulang, bisnisnya di tunda," bisik Grey seraya mengendus wangi rambut Shazia.
"Apa?" Shazia terlihat bahagia dalam sekejap. Mungkin juga dia rindu pada Boy dan Rapunza makanya galau terus selama bekerja. "Serius, kak Grey? Kok kak Brian ga kasih tahu?!" Shazia menoleh pada Brian namun kakaknya itu tengah terpejam.
"Lupa mungkin," Grey menyeka sudut mata Shazia. "Jelek banget! Udah tidur aja, jangan nangis, katanya bukan anak kecil lagi, kerja itu bagian dari orang dewasa!" omelnya.
"Kan, terus aja ngomel!" Shazia menjauh sebal.
Grey tidak membujuk, dia memilih mengatur posisi untuk tidur karena perjalanan masih jauh.
Grey yang baru terpejam kembali membuka matanya saat merasakan seseorang bergerak mendekat lalu memeluk perutnya. Siapa lagi kalau bukan Shazia.
Grey pun mendekat, membuat jaraknya dengan Aji yang ada di sampingnya lumayan berjarak. Grey jadi ingin mobil yang ada kasurnya kalau begini.
Grey pun menyandarkan kepalanya di kepala Shazia yang bersandar di bahunya. Mereka semua terpejam kecuali sopir.