05. Streetlight

152 14 0
                                    

Gea melangkah keluar dari stasiun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gea melangkah keluar dari stasiun. Gadis itu menoleh ke kanan dan kiri mencari ojek online yang ia pesan. Gea melirik layar handphonenya sekali lagi untuk memastikan plat nomor motor pengemudi yang ia pesan, setelah yakin Gea berjalan mendekat dan tersenyum sopan.

"Pesanan Namira Gea bukan, ya?"

Sang pengemudi ojek online itu membalas Gea dengan anggukan kecil disertai senyuman ramah. "Iya, kak. Atas nama Namira Gea." Pengemudi ojek online itu sigap membawa paperbag Gea juga memberikan Gea helm untuk dipakai.

"Saya naik sekarang ya, Pak."

"Silahkan, kak."

Tak banyak bicara, selama perjalanan Gea hanya diam sembari menikmati jalanan di sisinya yang tak berubah sejak setahun terakhir. Hari ini Gea pulang ke Jakarta, ia tak ingat kapan terakhir kali ia kembali ke kota kelahirannya. Tak banyak yang berubah, Jakarta tetap padat, macet, dan panas.

1 Maret, hari dimana sang ibunda berpulang karena penyakit gagal jantung yang dideritanya. Hari dimana Gea juga selalu menyempatkan waktunya untuk berkunjung untuk sekedar menyapa dan mendoakan nisan sang ibu. Sudah sepuluh tahun, sepuluh tahun Gea hidup tanpa sosok dan kasih sayang seorang ibu. Memang berat, tapi keadaan membantunya untuk menjadi dewasa walau sendirian.

Hubungan Gea dan sang ayah memang tidak buruk, tapi tidak bisa dibilang baik. Mungkin canggung adalah kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan keduanya. Karena ketika Gea tumbuh, tidak ada sosok sang ayah di sana. Ayahnya selalu sibuk dengan segala urusan pekerjaannya, meninggalkan Gea kecil tanpa pernah bertanya bagaimana perasaan gadis itu, bagaimana hari Gea berjalan atau mungkin pertanyaan sederhana tentang bagaimana sekolah Gea? Ayah selalu sibuk dengan dunianya sendiri.

Dan Gea sudah terbiasa dengan itu semua. Gea selalu suka sendirian walau ia membenci sepi. Baginya sendiri adalah nyaman, tak ada seseorang yang mengajaknya berbicara untuk sekedar berbasa basi. Karena pada akhirnya semua yang Gea sayang selalu pergi. Gea pernah benar-benar percaya, namun ia dikhianati.

Pada akhirnya, Gea kehilangan sisi cerianya. Dia bangkit lagi, berusaha tetap menjalani hidup dengan baik kembali. Karena pada akhirnya hanya dirinyalah yang ia butuhkan. Gea terbiasa mengandalkan dirinya sendiri walau sebenarnya gadis itu bahkan tidak tahu apa sebenarnya arti dari mencintai diri sendiri, Gea belum belajar untuk hal itu.

"Terima kasih banyak, Pak."

Setelah membayar, Gea berjalan masuk ke dalam toko bunga. Ia membeli beberapa buket bunga kesukaan mendiang ibunya. Bunga mawar. Sejujurnya Gea tidak terlalu menyukai mawar, ia memang indah namun berduri. Dibandingkan mawar, Gea lebih menyukai bunga lily.

Gea membuang napasnya berat ketika sampai di kuburan tempat peristirahatan terakhir sang ibunda. Akhirnya ia kembali berdiri di sini, kaki Gea melangkah menuju nisan cantik bertuliskan Ayana Namira. Gea menaruh bunga mawar yang ia beli di atas gundukan tanah yang tertutup rumput kecil segar.

BLOOMINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang