Kepala Gea mendongak ketika melihat sebuah tangan terjulur di hadapannya. Kedua mata gadis itu berkedip, menatap sosok di depannya dengan wajah sendu. Dalam hati Gea merutuk kecil, mengapa harus ada seseorang yang melihatnya menangis, Gea tidak suka dipandang lemah oleh orang lain terlebih sosok itu adalah Areksa Gatra Sadajiwa, orang asing bagi Gea dan sialnya mantan ketua himpunan yang menjadi panutan banyak orang.
Reksa masih menunggu Gea untuk menyambut uluran tangannya, bahkan pemuda itu tersenyum manis tanpa beban ketika kedua netra mata mereka bertemu sekali lagi.
"Jangan nangis di sini, kata orang pohon yang depan situ angker."
Gea memicingkan mata tak mau percaya. Laki-laki aneh, pikirnnya. Merasa tak ada tanda-tanda Gea akan menerima juluran tangannya, Reksa menarik kembali tangannya. Kepalanya menoleh canggung menatap jalanan, tetapi tak kunjung pergi dari tempat itu.
"Kita nggak kenal," ujar Gea sedikit serak.
"Kenalan makannya."
Gea tertawa hambar. Tangan gadis itu mengusap kasar air matanya lalu membuang napas panjang, Gea sedang tidak ada mood untuk berbicara apalagi menanggapi ocehan tak berarah seseorang. Ia menatap Reksa serius, tak peduli dengan status tinggi lelaki yang itu miliki.
"Pergi sana."
Sebelah alis Reksa terangkat, Gea bahkan mengusirnya tanpa basa basi. Namun ia tak mudah menyerah, Reksa malah dengan sengaja melebarkan senyumnya. Menatap Gea dengan hangat. "Gue tau tempat bagus buat nangis, dimana nggak ada orang yang lihat dan bisa nenangin lo. Mau ikut?"
Seperti tuli, lagi-lagi Gea tidak menanggapi perkataan Reksa. Gadis itu malah memandang mobil juga motor yang sedang melintasi jalan raya. Dari samping, Reksa dapat melihat sorot matanya begitu kosong, belum lagi wajah bengkaknya akibat menangis terus menerus.
Cukup lama mereka sama-sama diam, tanpa kata Reksa menarik tangan Gea untuk berjalan masuk ke dalam mobilnya. Ah bukan ditarik, Reksa menggenggam tangan Gea sangat erat. Tidak peduli respon apa yang nantinya akan ia terima, yang penting Reksa akan mencoba sebaik mungkin agar gadis itu melepaskan semua kesedihannya. Tidak hanya diam menunduk sambil menangis.
Tetapi Reksa salah, tepat saat ia membuka pintu mobilnya Gea langsung masuk tanpa protes. Dengan segera, Reksa berlari kecil menuju kursinya, memasang sabung pengaman lalu meoleh sekali lagi pada Gea. Menunggu gadis itu berbicara.
Merasa ditatap dengan serius, Gea menoleh ke samping masih dengan wajah yang benar-benar berantakan. "Bawa gue ke tempat yang lo maksud kak, dimana gue bisa nangis semau gue."
Lagipula semuanya terjadi begitu saja. Reksa juga sudah terlanjur melihatnya menangis, mau mengelak pun akan membuat Gea semakin malu. Sejujurnya, di hati kecilnya gadis itu butuh seseorang untuk menemani Gea meluapkan kesedihannya, Gea sempat berpikir untuk datang pada Celine dan teman-temannya yang lain, namun ia mengurungkan niat itu karena sadar diri Gea sudah terlalu banyak merepotkan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLOOMING
Teen FictionBloom (noun): A Beautiful Process of Becoming. Sederhana saja, Areksa Gatra Sadajiwa jatuh cinta pada target incaran sahabatnya sendiri. Namira Gea Raespati, si primadona tersembunyi kampus yang ternyata punya banyak kejutan. This book are about joy...