21. Pamer

104 10 0
                                    

Haikal keluar dari area dapur rumahnya, melangkah tak ikhlas sambil membawa nampan berukuran besar yang isinya camilan dan jus untuk disajikan kepada teman-temannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haikal keluar dari area dapur rumahnya, melangkah tak ikhlas sambil membawa nampan berukuran besar yang isinya camilan dan jus untuk disajikan kepada teman-temannya. Bukan Haikal tak senang, hari libur tenangnya tiba-tiba diganggu oleh Juna yang meminta bantuan untuk membuat poster kolase dengan tema ramah lingkungan untuk dipamerkan ketika bazar tiba nanti. Belum sampai situ, rumahnya tiba-tiba dijadikan tempat berkumpul, padahal kata setuju belum keluar sama sekali dari mulut Haikal.

"Cepetan, beres ini pulang lo semua." Haikal menaruh nampan yang dia bawa lalu ikut bergabung duduk di atas karpet dengan posisi sila.

Juna melengos saja, sedikit tidak tahu diri memang. Pemuda itu kini malah sibuk memasukkan koran ke dalam air untuk membuat kertas menjadi gumpalan padat agar bisa mengikuti bentuk sketsa yang Gea buat.

"Warnanya pastel boleh nggak?" tanya Celine, sudah siap menuangkan warna ungu, pink, dan peach ke dalam beberapa tempat yang sebelumnya sudah dibagi oleh Elang.

"Temanya ramah lingkungan dodol, hijau. Lo jangan ngide masukin pink."

Celine cemberut. "Padahal kalau warna gunung jadi pink digradasi sama ungu bakal lucu banget," komentar Celine, namun tetap menurut pada Juna untuk tidak memakai warna khas pastel, tangannya mengambil cat berwana hijau dan warna dasar lainnya.

Haikal mendengus, lagipula dia tak minat untuk membantu. Perhatian laki-laki itu beralih pada Gea yang sedang asyik menggambar di atas kanvas mengunakan pensil untuk membuat sketsa permintaan Juna. Gea duduk tenang sambil bersandar pada sofa, tangannya benar-benar lihai mengukir setiap bentuk sebagai penambah nilai estetika hasil karyanya.

"Sumpah, yang mau bazar siapa yang repot siapa," keluh Haikal, mendelik pada Juna yang tampak tak bergeming sedikitpun.

Gea terkekeh kecil menanggapi decakan kesal Haikal karena Juna masih mengabaikannya. "Biarin, Kal, sekalian kita kumpul juga."

"Ge, atuh lah, dia dari jam tujuh anjing, jam tujuh udah nongkrong di sini sambil ngopi sama abah gue lagian tadi, gue biasa bangun jam sepuluh kalau libur." Haikal masih merengek tidak terima.

Juna memang tidak bisa ditebak, karena pemuda itu adalah yang kelahirannya termuda diantara mereka, seringkali Juna dicap sebagai si bungsu, yang termuda yang permintaannya jarang sekali ditolak oleh mereka semua. Itulah alasan mengapa pemuda itu sedikit manja dan kadang berbuat seenaknya. Haikal sudah menegur bahwa ini yang terakhir, dia mau membantu tapi Juna harus meminta persetujuannya, pasalnya Juna itu sudah seperti anak angkat orang tuanya, abah dan umi sangat sayang pada Juna, bisa dilihat dari sambutan yang mereka beri ketika Juna dengan tangan kosong datang ke rumah Haikal hanya untuk meminjam alat dan barang untuk kerajinannya.

"Kenapa gak dibawa ke rumah Juna aja peralatannya?"

"Gue males bolak balik anjay, dia ngerepotin gue mulu. Ini aja syukur gue mau mengorbankan waktu tidur," keluh Haikal, peka memberikan Gea penghapus ketika tangan kanan gadis itu terjulur seakan meminta.

BLOOMINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang