Radit berdeham menyambut sang kakak ketika siluet Gea mulai terlihat mendekat melewati pagar besar rumah mereka. "Selamat datang di trip bersama Raditya Seno!" teriak pemuda itu ceria.
Kedua mata Gea memicing. "Masih pagi, energi lo udah full baterai aja," komentar Gea, menepuk pundak Radit kemudian melewati pemuda itu untuk melangkah ke ruang utama.
Radit tesenyum senang, wajahnya benar-benar merekah sempurna. "Iya dong! Mau sapa papa nggak?" tawar Radit.
"Udah bangun?"
Anggukan Radit memberi jawaban cukup jelas bagi Gea. Gadis itu tak bergerak sama sekali, hanya berdiam duduk di sofa sambil memejamkan matanya sebentar. Rumah ini sunyi, tetapi isi kepalanya kembali berisik. Ada keraguan yang besar dari diri Gea ketika setuju memutuskan untuk ikut pada perjalanan kali ini. Sebagian hatinya masih belum memaafkan kesalahan yang dibuat oleh sang ayah, namun sisi lainnya mendorong agar gadis itu menyudahi semua perang dingin yang dimulainya dan kembali memperbaiki satu persatu kepingan yang sempat hancur akibat papanya.
Malam tadi Radit berkata bahwa papa sudah memesan tiga tiket untuk berlibur selama dua hari ke Bali, awalnya Gea menolak karena merasa lelah dan masih tidak ingin bertemu dengan Sandi, ah ralat Gea tidak sanggup jika harus kembali berhadapan dengan sosok yang Radit sebut papa. Tetapi hatinya tetap tidak bisa berbohong, Gea rindu Sandi. Papa kebanggaan yang dulu selalu Gea impikan sebagai pelindung yang paling bisa diandalkan.
Karena bimbang, Gea meminta saran kepada Reksa. Ternyata, Reksa sudah tahu terlebih dahulu acara liburan mereka karena Radit sempat menghubunginya agar Reksa membantu Radit untuk membujuk Gea yang keras kepala. Sebetulnya tidak banyak juga yang bisa Reksa bantu, karena pemuda itu tidak ingin memaksa sang kekasih. Reksa hanya jujur menyampaikan pendapatnya tanpa menghakimi kedua belah pihak baik Gea ataupun Sandi.
Maka di sinilah Gea berdiri, di depan ruangan kerja pribadi milik Sandi, tempat dimana Gea juga punya kenangan yang buruk beberapa bulan lalu ketika berhasil mengetahui sebuah fakta yang berhasil membuatnya marah tidak terkendali. Gea merapikan sekilas rambutnya yang sudah di-curly cantik, ketika tangannya meraih knop pintu gadis itu menarik napas panjang agar dirinya sendiri merasa yakin dan berani.
"Gea boleh masuk?" tanya Gea pelan, benar-benar tidak suka dengan atmosfir di ruangan ini.
"Masuk, Gea."
Setelah mendapat persetujuan, Gea melebarkan pintu berwarna hitam itu agar dirinya bisa masuk dengan leluasa. Kedua matanya langsung menoleh canggung, membuang pandangan ketika Sandi tersenyum hangat sambil berjalan mendekat untuk menyambut kedatangannya.
"Sudah sarapan?"
"Udah, di kereta."
Canggung. Sandi terus memandangi Gea yang duduk tenang di seberang dirinya, pria berumur awal lima puluhan itu tersenyum lembut, membuat lengkungan sabit pada wajahnya. Ada sesuatu pada wajah Gea yang membuatnya teringat sosok mendiang istri pertamanya, Ayana. Struktur wajah Gea benar-benar mirip dengan sang ibu terlebih Gea memiliki warna mata yang sama seperti Ayana netra cokelat gelap yang punya sorot menenangkan, dan Sandi rindu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLOOMING
Teen FictionBloom (noun): A Beautiful Process of Becoming. Sederhana saja, Areksa Gatra Sadajiwa jatuh cinta pada target incaran sahabatnya sendiri. Namira Gea Raespati, si primadona tersembunyi kampus yang ternyata punya banyak kejutan. This book are about joy...