-Melarikan Diri-

819 69 4
                                    





***

Mata ariana terbuka lebar, ia terduduk dengan nafas naik-turun. Satu tangan menyentuh dada lalu meremas kuat kain baju yang ia kenakan bersamaan tangan satunya yang meremas selimut tak kalah kuat.

Rintihan orang meminta tolong kembali terngiang dikepalanya. Mencoba mengusir dengan menggelengkan kepala berulang kali, namun tampaknya percuma. Suara-suara itu tak mau hilang.

Ketakutan yang ia rasakan menciptakan rasa sesak didadanya. Bercampur rasa bersalah. Mata kelabu ariana berair, lalu ia terisak. Ia memukul dadanya berulang kali bahkan sesekali kepalanya.

Demi Tuhan, ia tidak sanggup merasakan ini semua. Kenapa ia harus mengalami hal keji berulang kali. Dimana kali ini ia turut berperan didalamnya.

Dua hari sejak kejadian itu berlalu, tidak ada perubahan pada ariana. Ia masih terpuruk, terjebak dalam penyesalan yang dalam. Mungkin semakin parah. Setiap malam ia terus meracau, histeris bahkan membuat seluruh pelayan panik.

Ia melewatkan makan, membuatnya terlihat makin kurus, dan lemah. Bahkan setiap waktu ia hanya berbaring-meringkuk diatas tempat tidur. Tidak mempedulikan bujukan para pelayan yang tampak putus asa membujuknya.

Chester, pria itu belum menjenguk keadaannya sama sekali. Entah kemana perginya pria itu. Yang ariana yakini mungkin tengah merencanakan pembunuhan lain atau sedang mengintai korban lain. Ia harap pria itu tidak akan pernah muncul dihadapannya-selamanya.

Namun harapan ariana pupus ketika pintu kamarnya berderit-terbuka. Harum mint seketika menyeruak, bersamaan dengan langkah ringan nyaris tanpa suara berjalan mendekatinya. Akhirnya, chester mengunjunginya.

Bagai mimpi buruk menjadi nyata, ariana pikir ia akan baik-baik saja. Nyatanya, respon tubuhnya justru bereaksi berlebihan. Denyut jantungnya meningkat, nafasnya mulai tak beraturan, dan tubuhnya gemetar hebat. Sekuat apapun gadis itu berusaha menekan apa yang ia rasakan, terasa percuma.

Ariana yang selalu tenang.
Sudah tidak ada.

Chester menghentikan langkahnya tepat disisi ranjang ariana. Memandangi gadis itu untuk sejenak, lalu tersenyum miring melihat bagaimana kondisi gadis itu. Ia melirik keatas nakas dimana terdapat makanan yang masih utuh.

Ia bukan tidak tahu bagaimana keadaan gadis itu selama dua hari ini. Ia selalu memantau bagaimana keadaan gadis itu melalui kamera cctv yang terpasang dikamera. Sengaja ia membiarkannya hanya untuk melihat sejauh mana gadis itu akan bertindak seperti penderita depresi.

Ternyata gadis itu tidak seperti yang ia harapkan.
Sama seperti gadis normal kebanyakan.

Ia merunduk, sebelah tangannya terulur hendak menyentuh wajah gadis itu. Namun reflek ariana menghindar membuat tangan chester mengambang sia-sia.
Tidak ada raut kesal atau ekspresi lain diwajah chester, tapi sorot matanya terlihat kelam. Tarikan nafas beratnya makin menunjukkan bahwa ia tidak suka dengan sikap penolakan ariana barisan.

Berganti menyentuh kepala ariana, mengelusnya sebentar sebelum menjambak kuat rambut ariana. Hingga wajah gadis itu mengadah keatas. Chester memiringkan kepalanya, tersenyum miring-singkat.

"perlawanan yang bagus, tapi sepertinya kau lupa bagaimana sifatku" bisik chester penuh penekanan.

Wajah ariana terlihat pucat dengan air mata yang tak berhenti keluar dari kedua sudut matanya. Rasa sakit bukan main ia rasakan dikepalanya. Tarikan chester begitu kuat, hingga kulit kepalanya terasa akan lepas.

Tidak ada ampun bagi chester, ia benci sikap tidak patuh apapun bentuknya. Tidak peduli siapa orang itu, ia bisa bersikap kasar dan kejam.

Tak mempedulikan bagaimana ekspresi ariana yang tengah kesakitan-ia justru menikmati. Wajah yang biasanya selalu tampak tenang kini berubah. Ketakutan dan kesakitan, ia lihat dari wajah cantik ariana.

Bird in the cageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang