Disebuah ruang kamar berukuran 6x5, terdapat sebuat tempat tidur tipe king size dengan seprai serta selimut berwarna senada, warna putih. Diatasnya terbaring seorang gadis yang tak lain adalah ariana.
Ariana membuka kedua kelopak matanya, mengerjap-ngerjapkan matanya yang tak lagi berfungsi. Ia sadar kini tak lagi berada diruang kamarnya. Bau dan suasana diruangnya saat ini berbeda dengan kamarnya.
Kepalanya kembali berdenyut, menimbulkan rasa pusing menyakitkan. Efek obat bius yang diberikan pria pembunuh pada ariana masih terasa. Ariana merasa heran kenapa dia harus menyusahkan diri untuk membius dirinya. Tanpa itupun, ariana pasti akan menurut jika dipaksa untuk ikut. Karena ia tahu, tak ada gunanya memberontak atau melarikan diri.
Ia menyentuh kepalanya, menekan-nekan pelipisnya untuk menghilangkan sakit tersebut. Setelah sedikit membaik, ariana meraba-raba permukaan tempat tidur, ia berusaha mencari dimana bagian pinggir tempat tidur agar ia dapat turun. Setelah menemukan dimana ujung sisi ranjang itu, ia menurunkan kakinya lalu berdiri tegak, karena rasa pusing yang masih ada, ariana sedikit limbung.
Kedua tangan ariana terangkat kearah depan, dengan gerakan menepuk-nepuk keudara. Ariana berusaha menggapai permukaan dinding ruangan tersebut. Lalu, Tanpa sengaja lututnya membentur meja kecil, ariana mengeluarkan jeritan kecil, mengaduh karena rasa sakit yang luar biasa. Ia menyentuh lututnya lalu mengelus-elus pelan untuk menghilangkan rasa sakit tersebut.
Ia kembali meraba dalam kegelapan, tangannya berhasil menggapai permukaan dinding ruangan tersebut. Dengan hati-hati ariana berjalan sambari meraba dinding, menjadikan dinding tersebut penunjuk arahnya. Tangannya menyentuh beberapa perabotan yang terdapat di ruang kamar tersebut, dan ariana dapat mengetahui benda-benda yang disentuhnya, dimulai dari meja, lemari, buku-buku, dan kursi. Bahkan ada sebuah tanaman beserta wadahnya. Ariana tak tau tanamam apa itu, ia tak pernah belajar mempelajari tanaman lewat sentuhannya.
Ruangan tersebut cukup bersih, ariana tak merasakan tangannya kotor atau debu berterbangan yang masuk kesaluran pernafasannya. Ariana merasa heran dengan pria yang telah membawanya itu, bagaimana bisa seorang pembunuh memiliki kamar yang tertata rapi dan beraih. Belum lagi kamar ini yang menguarkan aroma wangi bunga lavender.
setelah melewati sudut ruangan tersebut, ariana kembali melanjutkan langkahnya. Namun, Ia berhenti saat tubuhnya menabrak sesuatu. Ia meringis sakit,seperti menabrak sesuatu yang keras, apakah itu dinding ataukah lemari.
Ariana penasaran,ia pun menggerakkan tangannya, meraba kearah benda yang barusan ditabraknya.
"pakaian" gumam ariana saat memyentuhnya, tekstur yang halus dan lembut hingga ariana yakin itu adalah sebuah kemeja. Apakah ini patung? Batin ariana.
Ia terus menggerakkan kedua tangannya keatas, ternyata patung itu lebih tinggi dari tubuh ariana, hingga membuatnya sedikit berjinjit. Jari-jarinya menyusuri benda yang ia sangka adalah sebuah patung. Ketika ia menyentuh wajah patung tersebut,ariana merasakan sebuah keanehan, kenapa patung tersebut memiliki tekstur kulit layaknya manusia.
Mata ariana melebar saat benda yang dikiranya patung bergeming. Ia reflek mundur, menjauh.
"kau tampaknya senang sekali menyentuh wajahku" suara berat yang tajam mengejutkan ariana, ia segera menarik tangannya.
"ma-maafkan aku. Aku tak tahu" ucap ariana dengan lirih. Wajahnya menatap hampa kearah pria tersebut.
Sejenak ariana mengingat sentuhannya pada pria tersebut, ia ingay betul betapa halus kulit wajahnya, hidungnya mancung, bibir tipis, alis tebal dan ia memiliki bulu mata yang lentik serta bentuk rahang wajahnya yang tegas. Ariana pernah menyentuh patung pahatan salah satu dewa yunani yang dipahat oleh salah satu seniman didesa tempat tinggalnya. Persis seperti itu. Ariana pun menyimpulkan dan yakin bahwa pria itu pasti memiliki wajah yang tampan.
Sayang sekali dia adalah seorang pembunuh, batin ariana.
Pria itu berdehem, hingga menyadarkan kembali ariana dari lamunan kecilnya. Pria itu menatap ariana "kau tak takut?"
Pria itu tak dapat melihat raut wajah ketakutan pada ariana. Ia juga tak menemukan rasa takut pada ariana, hingga membuat dia sedikit frustasi. Setiap korban-korbannya selalu berteriak, menyumpah, bahkan memohon untuk dilepaskan, namun gadis didepannya ini hanya diam bahkan hanya memasang wajah seakan-akan tak berminat untuk hidup. Ingin rasanya ia menarik rambut gadis tersebut dengan kuat, untuk mengetahui apakah ia akan berteriak atau tidak.
"aku takut" jawab ariana tanpa ragu, ia tak berbohong jika ia mengatakan bahwa dirinya takut. Bahkan tubuhnya gemetar,namun ia tak tau bagaimana mengekpresikan rasa ketakutan. Lagipula ia buta, dibunuhpun ia tak akan dapat mengetahuinya. "kenapa belum membunuhku?"
Pria itu sendiri tengah bimbang, memikirkan ide timbul sebelum membawa gadis tersebut ke tempat ia tinggal sekarang. Ia berfikir untuk menjadikan ariana sebagai teman yang tinggal bersamanya, entah itu kekasih atau sebagai penghibur belaka. Selama ini pria tersebut hanya tau bekerja, ia tak pernah punya teman untuk bicara bahkan kekasih. Ia tak pernah berdekatan dengam siapapun kecuali client atau calon korbannya."tidak. Aku tak akan membunuhmu sekarang"
"kenapa? Kau merasa kasihan padaku? Karena aku buta?" ariana tak percaya ia mengatakan hal tersebut pada pria pembunuh didepannya itu. Ia tak dapat menahan rasa penasaran, dan kesal karena ia merasa diremehkan.
Pria itu tersenyum menyeringai, matanya yang hitamnya semakin menggelap, hingga jika orang yang mematapnya merasa terjebak didalam kegelapan. Ia maju, mendekay kearah ariana hingga tak ada jarak diantara mereka. Tangannya terangkat menyentuh rambut ariana, memainkannya dengan gerakan pelan.
"aku tak pernah melakukan ini sebelumnya, jadi aku penasaran"
Ariana diam, ia tak mengerti dengan sikap pria tersebut. Harusnya pembunuh bersikap kejam atau kasar padanya.
"kau cantik" gumamnya, "dan bersyukurlah kau buta. Karena warna matamu cantik. Warna abu-abu, aku tak pernah melihat wanita ataupun jalang yang kubunuh memiliki rona mata sepertimu"
Ariana tak tau harus merasa bahagia atau tidak mendengar pujian dari pria tersebut. "apa kau menghinaku? Aku tak secantik itu"
Pria itu terkekeh, suara beratnya terdengar menakutkan untuk didengar. "aku memujimu, ariana" bisiknya ditelinga kananku.
Tengkuk ariana langsung meremang, matanya membulat lebar. Tawa nyaring pria tersebut langsung meledak, "sungguh aku tak pernah tertawa selepas ini, benar sekali buku yang kubaca kemarin. Memiliki teman bicara sungguh menyenangkan. Dan membuatku sedikit tenang"
Alis ariana bertaut, ia tak memgerti apa maksud pria tersebut. Teman bicara? Untuk apa seorang pembunuh membutuhkan teman."apalagi cantik seperti dirimu" tambahnya, ariana bergidik mendengarnya. Ia merasa pria tersebut sudah gila.
"aku harus pergi" ucap pria tersebut, ia melirik ponsel miliknya diatas meja bergetar. "aku membelikanmu beberapa potong roti, ada dimeja samping tempat tidur. Aku akan menemuimu kembali besok pagi." pria itu meraih ponselnya. Lalu mengambil jaket hitam yang disangkutkannya dibalik pintu.
Sebelum ia pergi menutup pintu, pria tersebut berhenti saat mendengar suara ariana.
"siapa namamu?"
Pria itu tersenyum, kali ini bukan senyuman jahat. Melainkan senyuman biasa, seperti ia telah menanti gadis itu menanyakan namanya.
"chester, Chester Caldwell"
Pria bernama chester itu pun menghilang setelah menutup rapat pintu kamar tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bird in the cage
General FictionAriana Joanna stan adalah seorang gadis buta yang hidup bersama bibi dan pamannya. Kedua orang tuanya telah pergi meninggalkan ariana sejak ia berusia 8 tahun. Ariana terbiasa melakukan semua hal sendiri, karena tak mau merepotkan siapapun. Kehidu...