CHAPTER 2

164K 7.3K 687
                                    

Usai makan malam Narra bergegas mengguyur diri dengan air hangat. Rasanya sangat lega dapat memisahkan diri dari segala jenis kotoran yang menempel di tubuhnya sedari pagi.

Namun, lagi-lagi Narra dibuat berpikir keras mengenai keluarga ini. Bagaimana ceritanya keluarga miskin memiliki kamar mandi yang selayak dan senyaman ini?

Ada bathtub, shower, dan semua kebutuhan mandi benar-benar lengkap. Sabun-sabun merk mahal bahkan sekaligus dengan lilin-lilin aroma terapi.

Kemudian ketika Narra memasuki kamar yang akan ia tempati selama di rumah ini, lagi dan lagi perempuan itu dibuat bertanya-tanya.

Sekarang bagaimana? Adakah yang bisa menjelaskan keluarga miskin apa yang menyediakan kasur besar seukuran tiga badan orang dewasa, bantal-bantal empuk, selimut tebal, meja kayu mahal, lemari pakaian besar, dan lampu hias mahal di atas kamar ini hanya untuk seorang asing?

"Mereka miskin, tetapi kenapa semua barang-barang di rumah ini adalah barang-barang mahal? Lihat? Karpet ini saja adalah karpet mahal."

Dengan handuk melilit di tubuhnya Narra menilai seisi ruangan yang menjadi kamarnya kini. Dia keheranan.

"Ada pendingin dan penghangat ruangan juga," gumam Narra. Melihat ke atas, kepada sudut kiri juga sudut kanan ruangan.

Narra tidak asing dengan semua barang-barang mahal seperti ini. Dia terbiasa hidup mewah sedari lahir, dia pun tahu semua jenis-jenis merk bahkan sampai ke harga-harganya. Dan yang pasti, keluarga miskin biasa-biasa saja tidak mungkin memiliki barang-barang begini, pikir Narra.

Selama Narra masih asyik mengamati seisi kamar, suara pintu diketuk mengalihkan pandangan gadis itu lalu ia menyahut, "Ya?"

"Boleh Bibi masuk? Bibi membawakanmu beberapa pakaian yang belum pernah Bibi kenakan," sahut Ruby di depan pintu.

"Ah, ya. Masuklah, Bi. Pintunya tidak dikunci."

Ruby kemudian masuk. Dia tersenyum ramah dan menenteng sekitar sepuluh hanger—gantungan baju—yang semuanya digantungi oleh dress-dress anggun seperti yang selalu Ruby kenakan setiap harinya.

"Bibi tidak tahu bagaimana selera berpakaianmu. Di lemari Bibi hanya memiliki gaun-gaun harian seperti ini," jelas Ruby. Ia serahkan semuanya kepada Narra.

Narra tersenyum kikuk. Seumur-umur ia tak pernah mengenakan gaun-gaun seperti yang ada di tangannya ini. Hotpants, tanktop, croptop, jeans, pakaian-pakaian seperti itulah yang selalu Narra kenakan setiap harinya.

"Um... terima kasih, Bi. Aku akan memakainya. Gaun-gaun ini sangat cantik." Narra terkekeh canggung.

Ruby mengangguk. "Biasakanlah. Hidup ini memang penuh dengan kejutan. Menjadi sederhana tidak akan membuatmu malu," ucap Ruby lembut. Ia tersenyum dan pamit untuk ke dapur.

"Ah, ya. Jangan langsung tidur, pergilah ke ruang bersantai setelah ini karena Bibi akan menyiapkan kopi susu untuk kita semua," pesan Ruby saat akan menutup pintu.

Setelah Narra mengangguk Ruby lantas menutup pintu dan langsung pergi ke dapur.

"Rasanya aku ingin menangis." Narra menggerutu. Bisa-bisanya rombongannya pergi tanpa mencarinya terlebih dahulu. Bisa-bisanya dia ditinggalkan begitu saja.

Dengan mimik datar galak Narra memilih satu gaun, dia kenakan di depan cermin dan langsung berdecak ketika melihat penampilannya sendiri. Bahunya merosot tidak semangat.

"Seperti janda."

Narra berdecak lagi. Dia coba kesepuluh gaun itu dan kesepuluh-sepuluhnya membuat perempuan muda ini seperti janda malang. Seperti tidak ada gairah dan itu hanya penilaian Narra seorang, berbanding terbalik dengan kenyataan. Dia cantik, tampak anggun. Tidak ada lagi sisi-sisi sinisnya.

SENSATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang