CHAPTER 20

120K 6.6K 2.5K
                                        

"Ke rumah pohon," bisik Sanzio parau. Semakin mesra merengkuh pinggang Narra. "Membaca buku."

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Sanzio lantas tumbang ke belakang. Jatuh tertidur di rerumputan dan Narra mengulum bibir mendapati Sanzio menatapnya kecil dengan sorot begitu berat tak lagi tertolong.

"Atau di sini saja, um?" Mabuk hancur. Sanzio dan pikirannya tak dapat diselamatkan. Bicaranya semakin meracau kacau, lalu dengan amat lemas Sanzio berniat menarik turun ritsleting jeansnya.

"Kau mau apa?" Narra tertawa. "Bangun. Tidur di dalam."

"Mau apa? Tentu saja aku mau menghantammu." Sanzio terkekeh, berat nan parau. Sempoyongan, dengan sulit ia coba kembali bangkit berdiri.

Sanzio bersendawa, tatapnya memburam dan di depan Narra ia menyeringai panas. Telunjuknya menunjuki wajah Narra sambil menelengkan kepala, menyorot Narra tajam sayu siap menerkam wanita itu mentah-mentah.

"Kau tidak tahu?" Sanzio melangkah maju satu-satu, berat sempoyongan ke kiri dan kanan masih terus menunjuki wajah Narra.

"Tidak tahu apa?" Narra kembali mengulum bibir. Sanzio yang tenang dan tidak banyak tingkah, seketika terlihat sangat ekspresif seperti Todorov, tengil-tengilnya pun menjadi mirip.

"Aku ingin menghantammu. Aku ingin sekali." Sanzio manggut-manggut lamban serta mengerutkan hidungnya sekilas sembari menggigit bibir bawah.

Bukan Narra yang mengatakannya, tetapi perempuan itu merasa sangat malu sampai tak bisa membalas. Matanya membelalak melihat Sanzio seolah membujuk dan memanggilnya mendekat.

"Jangan takut, akan kulakukan dengan penuh kelembutan. I promise," lontar Sanzio seperti racauan tidak jelas. Dia mendekati Narra hingga mereka benar-benar dekat.

"Boleh? Um?" Sanzio merunduk. Matanya setengah terpejam tepat di depan muka Narra. "Aku ingin sekali." Dia mendesah kecil bercampur gelisah dan pening tak tertahankan.

Narra merinding. Belum sempat perempuan ini membuka suara, tiba-tiba Sanzio menangkap tangannya, membawa tangan Narra menempel di miliknya dan sontak sekujur tubuh Narra menegang ngeri.

"Kau merasakannya? Dia sudah bangun dan telah siap berperang." tanya Sanzio parau dalam, berbisik pas di depan muka Narra yang memerah panas.

Andai bisa, Narra ingin menjerit meminta pertolongan. Dia ingin berteriak senyaring-nyaring mungkin merasakan benda keramat Sanzio seolah telah memberontak paksa meminta dibebaskan.

"Ibu... Ibu tolong kemari—"

"Ssshhh... jangan panggil Ibu, biarlah ini menjadi rahasia panas kita berdua. Kau setuju, hm?"

Narra bergidik ngeri, merinding sekujur tubuhnya, bergetar tangannya dan napasnya pun seolah tersendat-sendat. Kacau, sisi kurang ajar Sanzio keluar tanpa lagi disensor-sensor.

Tidak Sanzio biarkan tangan Narra berpindah dari pusakanya, tetap Sanzio tahan sementara tangan wanita itu mulai gemetaran.

"Aku ingin menjilat—"

"Diam!" Narra memekik. Berjinjit lantas segera membekap mulut Sanzio kuat-kuat.

Yang dibekap terkekeh berat tanpa sadar. Kemudian dengan cepat juga gesit Sanzio melepaskan tangan Narra, menangkup paksa kedua pipi Narra lantas menyambar kini bibir Narra brutal. Dia miringkan kepala mereka, memberi lumatannya yang dalam mencaplok semua bibir perempuan itu.

Narra kelabakan panik, coba mendorong dada Sanzio di mana pria itu sengaja menempelkan tubuh mereka. Dengan sengaja menekan kejantanannya yang kini menempel di perut Narra, membuat Narra dapat merasakan betapa keras dan tegangnya benda tersebut.

SENSATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang