CHAPTER 30

80.5K 4.9K 2.1K
                                    

Di dapur Narra tengah menyeduh tiga gelas kopi, dua gelas teh, dan satu gelas susu. Pukul lima semua orang sudah bangun termasuk Christian yang katanya tidak sabar lagi untuk segera berangkat.

Seluruh persiapan sudah Narra bereskan. Setengah tujuh nanti mereka akan ke bandara di kota, lalu pukul delapannya mereka berangkat ke Toronto.

"Apa ini kopiku?"

"Uh?" Narra berbalik. "Um. Itu kopimu," sahutnya kepada Elder.

Ke dapur Elder menyusul, mengobrol santai bersama Ruby yang juga mempersiapkan roti lapis untuk mereka semua. Elder baru saja selesai dari mandi paginya dengan air hangat. Dia masih mengenakan handuk putih yang melilit di pinggang rampingnya. Rambutnya basah, tampan.

Tanpa berbalik badan Narra tersenyum, mendengar percakapan Ruby dan Elder yang begitu hangat.

"Ouch... Ibu kesepian? Baiklah, akan kuajak Todorov untuk sering-sering pulang agar Ibu tidak kesepian." Elder memeluk Ruby, manja-manja seperti ketika ia kecil dulu.

Ruby mengadu, dia katakan dia akan kesepian lagi karena Narra dan Christian akan ikut bersama Sanzio ke Toronto. Bahkan sempat meminta Elder untuk segera menikah juga agar istrinya bisa menemani Ruby di Lauterbrunnen.

Elder bergelanyut manja di bahu Ruby sembari memakan roti lapis. Sesekali ia melirik Narra yang memunggungi mereka, sibuk mencuci beberapa piring kotor.

"Narra, awas—"

"Ahh!" Narra memekik sebelum Elder menyelesaikan ucapannya. Satu botol kaca tergelincir dari atas rak penyimpanan makanan di atas, dan langsung menimpa kepala Narra.

Ruby menoleh kaget lantas Elder mendekat sembil berdecak. Dia merunduk mengambil botol kaca barusan kemudian melemparnya keluar jendela.

"Coba kulihat kepalamu." Elder memindahkan tangan Narra yang memegangi kepala, mengamati kepala Narra dan spontan saja meniup-niupi kepala Narra yang tampak sedikit benjol. Dia berdecak lagi, tidak sampai hati melihat kepala Narra agak memar begitu.

Narra mendesis, memegangi lagi kepalanya kemudian mundur untuk menjauh, menjaga jarak aman dari Elder. Dia lupa bahwasannya semalam Sanzio hampir mengamuk padanya perkara Elder.

"Haruskah diobati?" tanya Ruby perhatian. Sampai-sampai ia menjeda dulu aktivitasnya.

"Tidak, Bu. Tidak apa." Narra menggeleng, mengusap-usapi kepalanya dan Elder perhatikan.

"Hati-hati. Masih ada botol-botol lainnya di atas," ucapnya. Saat akan berlalu ia mengusapi kepala Narra begitu lembut pun perhatian, disertai pula seulas senyum yang hangat. Segera Narra menepis tangan Elder. Tidak kasar tapi tidak lembut juga. Cara menepisnya biasa saja, namun menunjukkan kewaspadaan.

Bersamaan dengan itu Sanzio dan Kenneth lantas muncul di pintu, menyusul ke dapur. Sanzio perhatikan istrinya yang memegangi kepala, lalu matanya berpindah kepada Elder yang kini melewatinya dengan mimik datar tanpa ekspresi. Mereka berpapasan namun tak saling tegur sapa. Seakan tahu jika ada api di antara mereka bertiga—Sanzio, Narra, Elder.

"Hey, kepalamu kenapa?" Ini Kenneth yang bertanya, perhatian layaknya seorang ayah.

Narra terkekeh, namun ketika ia menemukan mata Sanzio, otomatis kekehannya meredam. Dari semalam hingga pagi ini mereka bahkan tak saling bicara, sama-sama diam, bungkam, dan tidur pun saling memunggungi.

Sempat Narra ingin memeluk suaminya semalam, tapi yang terjadi adalah, Sanzio menolak tangannya. Menepis tangan Narra. Narra juga bahkan sempat membisikkan kata maaf di telinga Sanzio, namun suaminya tak menanggapi.

Memang susah membujuk lelaki seperti Sanzio. Karena baginya, percuma kau meminta maaf jika kau sendiri tahu bahwa kau masih akan mengulangi kesalahan yang sama.

SENSATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang