CHAPTER 17

105K 7.7K 2.4K
                                        

Ayo ayo, ramein ayo! 👏
Ramein biar aku semangat dan bisa nulis tiap malam untuk update tiap hari. Ayo ayo! 👏
Ramein yak, ini 3500 kata nih, puas kalian 💗

****

"Narra!"

Suara besar Sanzio menggema di dalam hutan. Mengejutkan burung-burung penghuni pohon hingga kompak mereka mengepakkan sayap, terbang berpindah, berpencar-pencar mencari kediaman lain.

Tangan Sanzio yang terkepal kuat itu gemetar. Rahang tegasnya mengatup erat, liar matanya menyorot ke semua bagian tergelap hutan mencari-cari keberadaan Narra yang masuk terlalu jauh hingga mendekati sebuah air terjun besar.

"Narra!" teriak Sanzio kembali. Benar-benar tegas besar, layaknya raksasa mengamuk.

Narra membekap mulutnya kencang, gemetaran sekujur tubuhnya, bersembunyi di balik pohon besar dengan air matanya yang tak tertahankan. Ia tak ingin bersama Sanzio, ia tak ingin dibicarakan seluruh penduduk muka bumi bahwa; seorang putri buronan Navy SEAL yang tak diharapkan lahir mendadak hidup terhormat setelah berhasil memikat hati salah satu pangeran trah Taylor.

Jika sudah rusak, rusaklah saja. Dari awal kehidupannya memang telah menyedihkan. Ia terbiasa disiksa, dipukul, dan dimaki-maki oleh pamannya. Ia terbiasa disalahkan dan dilimpahkan segala masalah serta tragedi yang bukanlah kesalahannya.

"Jangan coba bermain-main denganku, Narra. Jangan buat aku murka padamu," lontar Sanzio lamban berat. Dia menoleh ke sana dan ke sini, berdiri tegak gagah menelisik jauh ke dalam hutan gelap gulita itu.

Berjarak lima belas meter dari posisi Sanzio berdiri, ada Narra yang masih bersembunyi di balik batang pohon raksasa. Membekap mulutnya agar tangisnya tak pecah.

Dia takut, dia trauma, tak percaya lagi kepada Sanzio yang telah mengetahui segalanya. Hidup dalam berlimpahkan kesalahan dan tragedi dosa-dosa, ketakutan besar menyerang Narra bahwa dia akan menggantikan ayahnya sebagai penebusan.

Tatkala Narra mendengar suara-suara rerumputan juga ranting-ranting yang patah, ia melotot dengan mimik tegang. Semakin kuat membekap mulutnya. Menyiapkan diri untuk segera berlari lalu jika ia harus mati, maka matilah ia di hutan ini.

Lembapnya hutan menambah kengerian pada jiwa Narra. Ramainya suara-suara aneh binatang liar membuat Narra bergidik. Dan sosok gagah besar Sanzio yang tengah mencarinya sungguh membuat bulu kuduknya berdiri meremang habis-habisan.

Napas Narra terengah-engah. Ia berdebar hebat hingga tenggorokannya mengering dengan leher bak tersekat. Begitu ia mengintip sedikit menggunakan sebelah matanya ke arah belakang, Narra melotot sempurna mendapati Sanzio telah berjarak lima meter dari pohon yang melindunginya.

Entah sejak kapan dan dari mana, tetapi Narra tahu pasti yang dipegang Sanzio adalah sebuah belati. Sanzio memegangnya di tangan kanan, dan tangan kirinya ia kepal kuat menyimpan cincin di dalamnya.

"Larilah, Narra. Larilah sebelum kudapati kau dan kubunuh kau di hutan ini," tutur Sanzio serak dalam.

"Kau permainankan perasaanku dan aku tak dapat menerima itu. Aku lebih memilih kau mati daripada kau menolak hidup bersamaku."

Narra tersentak dalam pejamnya. Menekan batang pohon di belakang dengan kuat, mendongak dan ia takut bernapas seolah-olah Sanzio dapat mendengar deru napasnya juga dapat mencium keberadaannya.

Mimik Narra memucat pasi dalam gelap. Sekujur tubuhnya terasa dingin dan ia kian gemetaran. Ia ingin berlari namun Sanzio sudah begitu dekat.

Hutan ini bukan apa-apa bagi Sanzio yang telah menjelajahinya sedari kecil. Hutan ini tempatnya bermain, tempatnya berpetualang, dan ia tak takut pada apa pun yang ada di dalamnya.

SENSATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang