CHAPTER 27

78K 4.8K 2.2K
                                    

"Jelaskan sebelum kupukul kau di sini, Narra. Tolong jujur padaku karena aku suamimu, dan kau istriku. Pahami ikatan dan status kita sekarang."

"Lalu apa yang harus kujelaskan jika aku saja tidak tahu tentang dasi dan kancing kemeja sialan itu?" Narra mulai membentak-bentak.

Malam yang tadinya tenang, kini berubah menjadi pertengkaran suami istri. Sanzio tahu Elder memiliki perasaan kepada istrinya jauh sebelum mereka menikah.

Dari saat pertama kali Narra menginjakkan kakinya di rumah mereka, Elder-lah yang lebih dulu naksir dan menyukai Narra, Sanzio tahu itu.

Entah bagaimana dengan Narra, namun sampai di hari ini, ia tak menyadarinya. Sebab bagi perempuan tersebut, Elder tak lebih dari seorang pria yang sangat nyaman dijadikan teman. Terlebih kini status mereka adalah ipar.

"Aku tidak suka kau dan Elder terlalu akrab. Kupikir kau tidak bodoh hingga tak tahu bila Adikku itu menyukaimu," tutur Sanzio sementara Narra kini mengernyit.

"Sekarang dia iparku, jadi bagaimana bisa aku dengannya tidak akrab? Lagi pula akrab yang bagaimana maksudmu? Kami bahkan hanya saling bicara sebutuhnya." Narra tak mau kalah.

Jika mereka harus berdebat sampai matahari muncul, maka biarkanlah. Suasana hatinya yang tadinya begitu baik, mendadak berubah suram. Dan Sanzio-lah yang memulainya, pikir Narra.

Sanzio melepas kaosnya, hendak tidur hanya dengan telanjang dada. Lalu biar saja perdebatan mereka terlupakan, dia tidak suka beradu mulut.

Tidak terima melihat suaminya yang seenak jidat mengabaikan perdebatan mereka, Narra lantas menampar punggung Sanzio dengan kuat. Saking kuatnya sampai-sampai tercipta bunyi nyaring lalu gambar tangannya tercetak jelas di punggung Sanzio.

Sanzio meringis, memegang punggungnya dan berbalik menghadap Narra.

"Kau ini apa-apaan?" Sanzio agak melotot sambil menahan perih. Tangan serta jemari Narra memang halus dan lentik-lentik, tetapi sungguh, justru tangan seperti itulah yang tamparannya sangat menyengat sampai ke tulang.

Narra memasang mimik galak, menatap suaminya tajam menakutkan, baginya. Tapi bagi Sanzio, tatapan itu sama saja seperti tatapan si gadis sandal pink yang dulu meminta dipetikkan cherry. Sama sekali tak ada ngeri-ngerinya.

"Kau yang apa-apaan? Kau menuduhku tidur dengan Elder dan kau pikir aku serendah itu? Hingga aku mau menerima dua batang bergantian di satu lubangku?" Suara Narra meninggi, bentakannya sungguh-sungguh.

"Kecilkan suaramu. Semua orang sudah tidur," tegur Sanzio pelan.

"Biar. Biar semua orang dengar." Sambil berteriak Narra menggerakkan kedua tangannya. "Biar mereka tahu kau menuduhku—"

"Ck. Aku minta maaf," potong Sanzio cepat sebelum Narra menyelesaikan ucapannya. Dia peluk Narra di dada, merunduk lalu meletakkan dagunya di pundak Narra. Memeluk mesra.

"Tidak mau. Jangan peluk aku." Ogah-ogahan Narra mendorong Sanzio. Setelah itu kembali lagi ia menatap suaminya galak—tidak mengerikan.

Yang harusnya Sanzio panik karena telah membuat istrinya marah, ia justru terkekeh merasa lucu. Matanya menyipit. "Kau ini sudah dewasa, Narra. Jangan terlalu lucu begini, jangan buat aku gemas padamu."

SENSATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang