Ketakutan Narra memanglah salah. Ia mengira Sanzio akan membawanya ke suatu tempat, mengintrogasinya bak hakim, atau mungkin mencelanya—dan apa saja yang buruk kepadanya.
Salah sekali pemikiran perempuan itu. Yang terjadi adalah, sekarang, saat ini, mereka duduk di tepian jalan sepi, di kursi kayu panjang, ditemani dua cup kopi mengeluarkan uap panas, dan petikan-petikan gitar yang Sanzio mainkan.
Harus dibuat seberapa kagum lagi? Dan sebenarnya, apa sih kelemahan pria di sampingnya ini? Narra bertanya-tanya. Lelaki di sampingnya terlalu serba bisa sebagai manusia normal. Perempuan mana yang tidak meleleh melihat laki-laki tampan karismatik bermain gitar?
Sudah berpura-pura tak acuh, tetapi Narra tahu itu percuma. Matanya tak bisa untuk tidak melirik Sanzio yang bahkan bernyanyi dengan suara berat tegasnya, memberi entakan-entakan mantap memainkan gitar yang baru dibelinya barusan, menyanyikan satu lagu milik The Chainsmokers berjudul This Feeling.
Terlihat sangat menawan, otot keras lengannya mengencang serta urat-urat di jemarinya timbul-timbul sebab menekan senar-senar gitar, lincah jari-jari itu berpindah-pindah, dan bisa-bisanya pria itu bernyanyi sembari tersenyum lalu sesekali melihat Narra di sebelahnya.
"Kau tahu lagu ini?" Sanzio berhenti bermain lalu membenarkan arlojinya.
Narra mengangguk. Menyesap kopinya dan dia duduk manis seperti murid teladan. "Sejak kapan kau bisa bermain gitar?" tanya Narra.
Sebelum menjawab Sanzio menyesap juga kopinya. "Sejak 15 tahun. Bibi Gemma yang mengajarkanku," jelas Sanzio.
Dia memangku gitarnya di paha, terang-terangan menatap Narra hingga perempuan itu membuang muka ke samping. Sanzio tidak lagi sepemalu dulu, dan kini dialah yang merasa ciut tiap kali pria itu memperhatikannya.
Sanzio tersenyum. Ketika Narra sudah melihat lurus ke depan, ia kembali mengamati Narra dan lagi-lagi perempuan itu membuang muka. Alhasil Sanzio terkekeh, bersedekap kemudian bersandar bahu di kursi.
"Sombong sekali perempuan ini," celetuk Sanzio. Satu tangan kekarnya sengaja ia luruskan di kepala kursi hingga melewati bahu Narra.
Sombong? Asal tahu saja, semua perempuan akan selalu membuang muka tiap kali ditatap oleh pria yang disukainya. Narra ingin menjelaskan, tapi sadar itu tidak terlalu penting.
"Sudah? Bisa antar aku pulang sekarang?" Sekilas saja Narra melirik Sanzio.
"Memangnya siapa yang akan mengantarmu pulang?" Sanzio menyesap kopinya sebentar. "Kau akan kubawa ke apartment-ku."
Narra bersedekap setelah menghela napas. "Kau cari mati."
"Tidak perlu dicari pun kematian akan datang dengan sendirinya, Nyonya Battista. Yang harus dicari itu cinta dan kebahagiaan, karena mereka berdua tidak akan datang dengan sendirinya tanpa sebuah usaha," tutur Sanzio.
"Kau carilah. Aku sudah menemukannya." Narra menghabiskan kopinya di cup.
"Benarkah?" Tiba-tiba Sanzio meraih bahu Narra, membawa perempuan itu memepet padanya. "Yakin kau bahagia?"
Narra bergeser lagi ke posisi semulanya, menjauhi Sanzio tetapi Sanzio kembali menariknya mendekat. Sontak Narra mengulum bibir, menahan napas agar tidak sampai tertawa.
"Kenapa kau jadi seagresif ini? Ke mana Sanzio yang dulu pemalu?" Narra memberanikan diri menatap pria itu.
"Dan ke mana bocah sandal pink yang dulu agresif? Kenapa kau jadi sok malu-malu begini?" balas Sanzio, terkekeh sambil menahan bahu Narra agar tidak bisa menjauh lagi.
"Ck. Sudahlah, ayo, antar aku pulang." Narra mulai memelas. Pikirannya melayang mengingat Pedro, membayangkan suaminya akan bangun lalu tidak menemukannya di kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENSATION
RomanceFollow untuk membuka bab-bab yang dikunci melalui web ! 21+ || DARK LOVE ROMANCE