CHAPTER 24

85.7K 5.5K 2.2K
                                    

10 July, Sicilia—Italia 🇮🇹

Rebusan kopi di teko telah berbunyi, aromanya menyeruak di sekitar basement—ruangan bawah tanah—berukuran cukup luas yang sanggup menampung setidaknya lima hingga tujuh manusia.

Pada sudut ruangan terdapat satu televisi kuno antik era 1990-an, satu radio jadul di dekat sofa tua, tiga rak buku-buku penuh debu, dan sebuah meja kayu tua di mana catnya telah memudar.

Di atas meja tersebut terpatri satu vas bunga dekil dan sebuah bingkai foto, satu-satunya benda paling bersih dan tak berdebu di ruangan itu ialah si bingkai foto.

Tak sama seperti bangunan di atasnya yang megah berciri khas rumah mahal Italia, basement tersebut lebih layak disebut dengan penghuni gembel. Pengap dan gerah, namun di sinilah segala susunan pesta kematian dirancang.

Usai menuang rebusan kopinya di gelas, sang pemilik basement lantas bergontai mendekati sofa tuanya. Mendaratkan bokong di sofa tersebut kemudian tangannya terulur ke samping mengaktifkan radio jadulnya yang masih berfungsi.

Berusia genap 50 tahun tak membuatnya tampak seperti bapak-bapak tua lemah tak berdaya. Surainya masih lebat, otot-otot pada bahu, perut dan pahanya bahkan masih sangat kokoh meski jemari tangannya hanya tersisa delapan dari jumlah total sepuluh.

Setelah menyeruput kopinya satu kali, pria berpostur seksi bugar bak segitiga terbalik ini menanggalkan kaos hitamnya kemudian mengeluarkan sebungkus rokok dari balik jeans yang dikenakan. Jeans biru di mana bagian lutut serta pahanya robek-robek juga terdapat noda oli.

Sambil menggigit rokok di sudut bibir, ia bergontai mengambil pemantik di samping meja televisi. Membakar rokoknya di bibir dan menyesapnya dalam-dalam. Dari belakang, tampak jelas punggung lebar nan kokohnya itu tidaklah semulus yang dibayangkan.

Terdapat lima jejak luka tembak di mana dulu bersarang peluru di dalamnya. Luka tikam pada pinggang, luka iris pada bahu kirinya yang mengembang berotot, pun sekali lagi luka iris pada wajahnya yang membentang miring dari sudut mata kiri, melintasi pangkal hidungnya yang tinggi, lalu melewati bibirnya yang berbentuk sensual.

Jejak-jejak luka itu ialah bukti nyata betapa kelamnya hidup pria 50 tahun tersebut, Debarro Shankar, putra sulung mantan kepresidenan Somalia di era tahun 1960 sampai pada 1967 yang melarikan diri, memberontak kepada tanah sekaligus negeri kelahirannya hingga diburu oleh bangsanya sendiri.

Di tengah-tengah kenyamanannya yang ditemani siaran dari radio jadul, sebatang rokok serta segelas kopi, ponsel Debarro di saku jenas samping lantas bergetar masuknya satu pesan.

Tangan kekarnya mengeluarkan ponsel, memegang benda pipih tersebut yang seketika menjadi kecil dalam genggam jemari beruratnya yang tersisa empat pada tangan kanan.

Bibir seksi Debarro tertarik tipis begitu sorot matanya terfokus kepada layar ponsel. Ia tahu dirinya tak ada hak apa pun untuk ikut serta atas kebahagiaan yang tengah dirasakan oleh putrinya.

"Putrimu telah menjadi seorang istri."

Isi pesan yang masuk dan disertakan satu potret foto ketika Sanzio dan Narra tengah berpegangan tangan di altar pernikahan, usai mengucapkan janji suci mereka.

"Kau menikahi lelaki yang tepat. Setidaknya, setelah ini dunia akan lebih berlaku adil padamu," tutur Debarro. Suaranya tegas, berat dan rendah.

Debarro menyisipkan kembali ponselnya ke saku jeans. Ia duduk di sofa tuanya, mengangkat satu kaki, menenggak kopi di gelas kemudian menyesap rokoknya nikmat santai.

Sesekali ia menyeka keringat di dada kerasnya yang terdapat jejak luka tembak, perhiasan abadi yang takkan memudar dan itu diberikan oleh Lucien Ripper Scott.

SENSATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang